Kotagede terletak di selatan Kota Yogyakarta. Asal mula Kotagede dapat dijelaskan dari dua versi. Yang pertama, yakni versi sejarah yang telah dibuktikan dengan keberadaan artefak arkeologis seperti makam Panembahan Senapati di Makam Agung (Van Mook, 1972). Melacak peninggalan arkeologis yang ada, Inajati (2000) menunjukkan struktur Kotagede terdiri atas kraton, masjid, pasar dan alun-alun. Komponen kawasan tersebut diistilah dengan Catur Gatra. Versi ini dilengkapi dengan adanya cerita rakyat. Selain itu di Kampung Dalem, terdapat sebuah cungkup, rumah-rumahan berisikan untuk watu gatheng (batu untuk mainan gatheng), watu genthong (batu berceruk konon digunakan untuk menghamtam kepalanya Mangir), serta watu gilang (batu untuk singgasana). Ketiga batu tersebut diyakini memiliki kaitan dengan Panembahan Senopati.
Wilayah Kotagede ditinggalkan oleh Sultan Agung dan penerusnya yang memilih untuk pindah ke Kerta, Pleret hingga Kartasura. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1775, wilayah Kotagede disebut tanah mencil atau tanah yang terbagi menjadi milik Surakarta and Yogyakarta. Termasuk Masjid yang menjadi satu kompleks dengan Makam Mataram, tempat leluhur dari kedua kerajaan ini dimakamkan.
Dahulu di kawasan ini terdapat komponen bebangunan kraton, kini telah berubah menjadi perkampungan. Hanya toponim, nama kampungnya, seperti Kampung Dalem atau Kampung Alun-Alun yang akan mengingatkan keberadaan masa lalu. Wajah Kotagede didominasi oleh bangunan berarsitektur tradisi Jawa. Dari segi letak dan orientasinya rumah-rumah itu menghadap ke arah Selatan. Kerapatan bangunannya membentuk lorong-lorong jalan yang sempit.
Pada awal abad ke-20, kebangkitan institusi perdagangan maupun organisasi masyarakat telah membawa Kotagede ke dalam sistem kemasyarakatan yang baru. Kotagede memiliki peran yang besar sebagai penyuplai barang yang terbuat dari perak untuk kepentingan upacara kerajaan. Selanjutnya, saat Kraton Yogyakarta berkembang sebagai ibukota Yogyakarta, Kotagede kembali tumbuh sebagai kawasan perdagangan. Saat ini, secara administratif, Kawasan Kotagede terbagi menjadi di dalam dua wilayah, yaitu Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul yang terdiri dari Kelurahan Prenggan, Kelurahan Purbayan, Desa Jagalan serta Desa Singosaren.
Keberlanjutan dan daya tahan Kotagede dalam menghadapi tuntutan perubahan dapat dipertahankan, survive, manakala potensi dan budaya setempat terkelola dengan baik. Sebagaimana perkembangan kota yang terjadi dari waktu ke waktu dapat dimengerti secara langsung melalui bentuk dan tampilan fisiknya, khususnya bangun-bangunannya. Disamping itu karya arsitektur yang hadir secara berkesinambungan, dalam waktu yang lama, akan menjadi salah satu faktor pemelihara nilai-nilai lokalitasnya. Adat, tradisi, dan nilai-nilai budaya yang terpelihara menjadi faktor dominan dalam mengendalikan citra kota.
Kotagede berubah dari waktu kewaktu terkerangkakan dalam system social dan nilai kelokalan yang berlatarbelakang sejarah kerajaan Mataram dimasa lampau. Tata nilai tersebut masih hidup hingga kini, baik dalam aras politis, administrasi pemerintahan, hingga sistem kekerabatan. Kepemilihan lahan sebagian merupakan tanah kraton Surakarta dan sebagian lagi milik kraton Yogyakarta, menjadikan hal yang sangat kental memberi warna pada pandangan masyarakat Kotagede hingga hari ini.
Sebagai bekas ibukota kerajaan Mataram yang didirikan pada tahun 1586, Kotagede banyak meninggalkan situs arkeologi dan arsitektur, yang kini disepakati sebagai warisan budaya (heritage). Sebagai contoh adalah situs yang sangat dikenal dalam wacana sejarah pada umumnya dan wacana arsitektur, seperti; altar singgasana, watu gilang, makam Hasta Rengga, Masjid Agung dan makam raja, kolam Sendang Seliran, dan pasar, Sargede. Situs kraton yang ada menunjukkan adanya tataan kota dimasa lampau. Toponomi desa, dusun dan kawasan hingga kini memberikan gambaran yang jelas tentang sekumpulan perca elemen kota. Dalam aras inilah maka Kawasan Kotagede menemukan signifikansinya untuk dimasukkan kedalam kategori kawasan yang dilestarikan.
Berdasarkan literature sejarah perencanaan Kotagede didasarkan pada kosmologis masyarakat Jawa, khususnya sinkretisme antara Jawa dan Islam. Sebuah persenyawaan dan kaitan antara mahluk – dunia – sang pencipta. Bahwa semua yang terjadi diatas dunia adalah kesatuan antara mikro kosmos dan makro kosmos yang memberikan keselarasan kehidupan. Keseimbangan, keserasian, dan kesejajaran antara manusia sebagai penguasa dunia, dengan lingkungannya secara horizontal. Sedangkan disisi lain ada keseimbangan hubungan vertical antara mahluk dan dunia dengan tuhannya. Sistem inilah yang diwujudkan dalam tatanan kraton Jogja dimasa lalu melalui artifaknya yang hingga kini masih ada.
Dinamika pertumbuhan Kotagede berkembang seiring dengan denyut kehidupan Kota Yogyakarta. Perpindahan pusat kekuasaan pemerintahan yang kini berada di Kota Yogyakarta menyebabkan fungsi Kotagede menjadi kota satelit Yogyakarta. Dunia pendidikan, pariwisata, perdagangan, sebagai unsur budaya lokal baru, mendorong Kotagede untuk menentukan perannya sebagai kawasan spesifik. Kekayaan yang ada di Kotagede menjadi sedemikian penting untuk menjaga kesinambungan pembangunan dan mengantisipasi perkembangan gaya hidup kekotaan. Kotagede berperan sebagai penetrasi budaya masa kini melalui kekayaan peninggalan masa lampaunya. Kekayaan tersebut berupa potensi pendukung perkembangan pariwisata dengan tema tertentu dan khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai kesejarahan. Pelestarian adat, tradisi dan seni budaya, dan penyediaan fasilitas untuk fungsi pendukung penikmatan nuansa Kotagede. Mempertahankan kehidupan keagamaan dan kegiatan bernuansa budaya, dan menggairahkan kembali kehidupan sosial-ekonomi-budaya masyarakat setempat. Satu dari banyak upaya untuk mewujudkan tekat tersebut adalah melalui penataan fisik kota secara menyeluruh, atau revitalisasi kawasan kota.
Kotagede; Pusat Kawasan
Kotagede berada di bagian Tenggara Kota Yogyakarta, dengan peran dan fungsi penting bagi kawasan di sekitarnya maupun Kota Yogyakarta pada umumnya. Kontribusi Kotagede adalah nilai kesejarahannya, memiliki kekayaan situs arkeologis dan artifak arsitektur masa lalu. Kotagede kini, selain sebagai pusat pertumbuhan kawasan, memiliki peran sebagai kawasan wisata budaya.
Dinamika kegiatan sosial ekonomi di kawasan yang dibelah empat oleh jaringan jalan, dengan pusat pasar, telah berimbas pada terganggunya sistem perkotaan dan situs arkeologis. Beberapa parameter yang bisa dilihat secara langsung adalah (1) tingginya intensitas kegiatan ekonomi yang berimbas pada penurunan kualitas aksesibilitas, (2) pertumbuhan bangunan dan ketidakteraturan penataan bangunan baru, baik dari aspek peraturan bangunan maupun penampilan bangunan, menjadikan Kotagede beralih rupa, (3) kaburnya citra kawasan budaya dengan lemahnya aspek visual dari keberadaan artefak-artefak budaya yang ada. Beberapa hal penting;
- Kotagede sebagai pusat kota lama mengandung nilai sejarah dan budaya yang sangat spesifik, termasuk posisi Kotagede yang berada di dua administrasi pemerintahan kota dan kabupaten. Secara kultural Kotagede dikelola oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
- Kotagede mengemban fungsi pelayanan jasa dan perdagangan yang bersifat sekunder (kawasan pinggiran Kota Yogyakarta yang berbatasan dengan Kabupaten Bantul). Jaringan jalan yang ada menjadi bagian penting dari sistem pergerakan di kawasan pinggirannya.
- Kotagede dilintasi oleh jalur jalan kolektor sekunder (Jl. Mondorakan dan Jl. Karanglo), jalan lokal sekunder (Jl. Kemasan). Keberadaan Jl. Karanglo berakses langsung kepada ring road Timur Yogyakarta. Intensitas kegiatan ekonomi di pusat kota, sekitar pasar, sangat tinggi, dengan keberadaan fungsi perdagangan, jasa, pendidikan dan perumahan.
- Komplek masjid, bekas Keraton, makam keluarga raja Hastorenggo, dan pasar, menjadi pusat kegiatan budaya, adalah perca-perca budaya kota, datum, simbolik yang layak untuk dipertahankan keberadaannya. Peran Kotagede dalam menyinergikan program wisata budaya, maka diperlukan upaya memadukan kepentingan peningkatan kenyamanan lingkungan, baik pengendara kendaraan bermotor, pejalan kaki dengan peningkatan serta pemantapan citra kawasan yang memberikan kontribusi positif bagi Kota Yogyakarta.
Dalam konteks pertumbuhan fisik, Kotagede mengalami dinamika yang tinggi. Jenis kegiatan yang memiliki dinamika tinggi terkembang di koridor Jl. Mondorakan, Jl. Pembayun, Jl. Kemasan, tersebut berupa kegiatan perdagangan (terutama kelontong, makanan kecil, kerajinan), jasa, dan permukiman. Kesemuanya berorientasi pada jalan-jalan urat nadi kawasan tersebut.
Perkembangan Alami dan Penataan Kawasan
Pertumbuhan aktivitas masyarakat dengan gaya hidupnya yang sangat dinamis, seperti masalah perekonomian, pembangunan kembali pasca gempa, upaya menjadikan obyek wisata berbasis lingkungan binaan, seringkali bersinggungan dengan daya tampung dan kondisi kotanya.
Upaya menjadikan Kotagede sebagai kawasan konservasi budaya dan pelestarian kawasan cagar budaya pada banyak hal berbenturan dengan perubahan kegiatan usaha dan upaya meningkatkan mata pencaharian penduduk setempat, bahkan kini dengan masyarakat pendatang. Aktivitas perekonomian seperti kecenderungan perubahan iklim berdagang, mengubah tatanan spasial dan artifak arsitektural.
Desakan terhadap regulasi tataan ruang dan kawasan, diantaranya akibat gempa tahun 2006 yang lalu, sangat diperlukan untuk mengantisipasi perubahan tataguna bangunan, infrastruktur kota, dan estetika visual kota untuk masa mendatang. Sebagaimana kondisi kota-kota bersejarah di Indonesia, Kawasan Kotagede menghadapi probema ketataruangan, terutama dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang kota. Beberapa permasalahan yang membutuhkan penataan kawasan adalah sbb:
- Desakan pertumbuhan kegiatan di kawasan strategis memerlukan penyelesaian melalui peraturan pembangunan agar tidak menimbulkan konflik kepentingan,
- Berpindahnya kepemilikan bangunan kuno, dan kerusakan bangunan yang dikategorikan sebagai elemen urban herritage ,
- Rekonstruksi pasca gempa bumi di Kawasan Kotagede merupakan kesatuan sistem dengan kawasan lain di DI Yogyakarta,
- Gencarnya pembangunan kembali fasilitas kota dan akomodasi wisata memerlukan arahan terpadu untuk menyelaraskan dengan adanya situs budaya warisan masa lalu,
- Pengayaan artifak untuk menjadi penanda yang mempunyai ciri-ciri tertentu bagi Kawasan Kotagede sebagai kawasan cagar budaya.
Berdasar pada temuan tersebut, sudah saatnya Kotagede ditangani secara komprehensif, berjangka panjang. Mengakomodasikan berbagai isu dan problema keterlestarian bangunan cagar budaya (BCB), pembangunan bangunan baru, meliputi tataan spasial dan obyek visual dalam sebuah koridor yang bernuansa budaya.
- Kotagede sebagai kawasan, node, yang berkarakter dan beridentitas kelokalan
- Berbagai kepentingan dan kegiatan di kawasan, baik ekonomi, pelestarian budaya, kemudahan aksesibilitas, dan peningkatan kualitas lingkungan
- Pedoman pelaksanaan pembangunan dan arahan rancangan bangun-bangunan yang dapat mewujudkan kawasan yang tertata.
Kotagede dalam Dilema
Dari sisi fisik dan non-fisik, Kotagede mengalami percepata pertumbuhan. Terutama pada dua dasawarsa terakhir kegiatan pembangunan dan interaksi warganya dengan dunia luar meninggi. Pewarisan tradisi dan pengetahuan lokal semakin surut, terutama ketika para kawula mudanya makin banyak yang menaruh perhatian ke ranah lain serta lebih senang berada di luar Kotagede.
Begitu pula rumah-rumah tradisional Jawa, dengan mudah terangkut ke luar Kotagede berganti pemilik ketika pemilik lama membutuhkan uang. Praktik ini semakin gencar terjadi pascagempa bumi 27 Mei 2006. Di sisi lain, cukup banyak pihak pula yang menginginkan potensi budaya Kotagede yang unik ini dikemas untuk kemudian "dijual" sebagai industri pariwisata. Namun, cara yang muncul tampaknya berbeda-beda. Ada yang ulet mencoba mempertahankan wujud Kotagede seperti yang dulu ada, sementara itu ada pula yang berupaya menampilkannya dalam wajah yang lebih baru.
Catatan:
Tulisan ini merupakan konsep perencanaan dan perancangan Tata Bangunan dan Lingkungan Kotagede, 2010.
dalam dilemanya saat ini, kotagede dan masyarakatnya perlu mejnadi subjek utk menciptakan perencanaan yang berkelanjutan. menciptakan wisata sejarah ataupun wisata kampung, bisa jadi solusi yang tepat karena potensi nya cukup kuat.. dengan catatan tanpa embel2 ketergantungan pihak luar yang menghendel, masyarakat kota gede sendiri yang perlu jadi lakon utama untuk melaksanakannya, dengan harapan kesejahteraan dapat dinikmati langsung oleh masyarakatnya..
BalasHapusKotagede harus dijaga dengan pengembangan nilai-nilai dan lingkungannya yang lebih cocok untuk warganya. Maka peran warga paling penting dalam merencanakan masa depannya sendiri. Bantuan dari luar perlu untuk mendukung saja.
BalasHapusdan masih juga dalam dilema ya pak.. heheheee
BalasHapussaya suka artikel ini pak..
:)