Langsung ke konten utama

Merefleksi Arsitektur YB Mangunwijaya


Pendekatan perancangan arsitektur memiliki dimensi yang hampir tanpa batas. Setiap sekolah arsitektur memiliki keyakinannya masing-masing, dan lalu mengembangkannya agar memperoleh legitimasi dari berbagai pihak. Bagi arsitek, membuat ruang adalah tujuan nyata, namun merangkai bentuk tak kalah peliknya. Mulai dari mengolah dan memberdayakan bahan atau menarik garis merah dari sejarah yang melingkupinya sah-sah saja, dan hal itu akan selalu menjadi perbincangan tiada henti. Maka membahas pendekatan perancangan menjadi penting, namun dari mana memulai, dan bagaimana melakukannya adalah bagian yang relatif sulit namun amat berharga.
Apatah dikata, kita sering terjebak oleh metoda kerja yang telah dilakukan oleh para arsitek besar, yang menghasilkan karya megah, dengan argumentasinya yang tak terbantah. Dan kemudian ketika kita memraktekkannya ternyata kita hanya sekadar menjadi pengikutnya belaka. Di sekolahan, bila mahasiswa tak sepaham dengan dosen, seringkali menjadi masalah besar pula. Pertanyaannya adalah perlukah kita menjadi diri kita sendiri, tanpa harus berada di bawah bayang-bayang patron yang menginspirasi kita. Bagi Marx, sosiolog yang filsuf itu, dosa seseorang merupakan tanggung jawab lingkungannya juga. Makanya kita juga meyakini bahwa belajar dari seseorang yang telah berhasil, atau dari lingkungannya, merupakan keharusan karena berarsitektur adalah melanjutkan apa yang sudah ada pada saat ini. Tugas arsitek adalah memperkaya khasanah arsitektur yang sudah ada, dalam lingkup sekecil apapun.
YB Mangunwijaya adalah seorang arsitek yang bermartabat, sehingga patut menjadi teladan. Setidaknya bagi kita yang mempunyai kedekatan, baik dalam jarak maupun dalam pemikiran. Belajar dari karya-karyanya akan dapat meningkatkan kemampuan kita berolah gatra, bentuk dan rupa. Belajar dari cara berfikirnya, ketekunannya, dan keuletannya, akan semakin memandirikan kita dalam bertindak dan berkarya. Tetapi, bukankah akan lebih berharga bila kita meneruskan cita-citanya? Menjadi manusia pembelajar, menjadi pribadi yang tangguh, menjadi bangsa yang mandiri, dan menjadi arsitek yang orisinil?
Sejak sepeninggal Mangunwijaya seolah Jogja tidak memiliki dan melahirkan lagi tokoh yang seflamboyant dia. Belajar tentang karya arsitektur Mangunwijaya tak hendak melanggengkan bentukan yang telah dia buat. Tak juga membuat “aliran mangunwijaya” atau ‘mangunan style’. Merefleksikan sembari mencari kesesuaian karya-karya itu dengan kondisi saat ini, serta demi waktu mendatang. Mengritik dengan takaran yang berimbang karena Mangunwijaya juga insan biasa yang pendapatnya perlu didiskusikan ulang. Beruntung kita masih menemui karya arsitekturnya -- yang mungkin hanya akan bertahan beberapa puluh tahun lagi karena sebagian besar dibuat dari bahan kayu yang tak sekokoh pyramid Mesir--  maka masih ada kesempatan untuk belajar dari peninggalannya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja di Kotagede (1)

Kotagede terletak di selatan Kota Yogyakarta. Asal mula Kotagede dapat dijelaskan dari dua versi. Yang pertama, yakni versi sejarah yang telah dibuktikan dengan keberadaan artefak arkeologis seperti makam Panembahan Senapati di Makam Agung (Van Mook, 1972). Melacak peninggalan arkeologis yang ada, Inajati (2000) menunjukkan struktur Kotagede terdiri atas kraton, masjid, pasar dan alun-alun.  Komponen kawasan tersebut diistilah dengan Catur Gatra . Versi ini dilengkapi dengan adanya cerita rakyat. Selain itu di Kampung Dalem, terdapat sebuah cungkup, rumah-rumahan berisikan untuk watu gatheng (batu untuk mainan gatheng ), watu genthong (batu berceruk konon digunakan untuk menghamtam kepalanya Mangir), serta watu gilang (batu untuk singgasana). Ketiga batu tersebut diyakini memiliki kaitan dengan Panembahan Senopati. Wilayah Kotagede ditinggalkan oleh Sultan Agung dan penerusnya yang memilih untuk pindah ke Kerta, Pleret hingga Kartasura. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1775, wi

TAMPILAN ARSITEKTUR

Catatan: Tampilan Arsitektur , adalah buah pikir Prof. Josef Priyotomo. Tulisan ini saya peroleh dari rekan Dr. M Muqoffa, UNS Surakarta. Saya merasa senang dengan tulisan ini sehingga merasa untuk berbagi dengan para sahabat sekalian. Selamat menikmati .     oleh: josef priyotomo Tampilan: apa dan siapa dia? Tergantung pada sisi tinjau manakah penjawab pertanyaan itu, di situ pulalah kebenaran dan kesalahan, persetujuan dan penolakan atas jawabannya diletakkan. Bagi pihak yang masih menempatkan ruang sebagai panglima dalam arsitektur, misalnya, maka tampilan bukanlah sebuah ihwal yang perlu perhatian yang setara dan sepadan dengan perhatian terhadap ruang arsitektur. Mereka yang mengikuti dogma ‘form follows function’ mengatakan bahwa bentuk muncul sebagai akibat dari pananganan atas ruang dan fungsi. Dalam lingkungan penganut pandangan itu, bahkan tidak jarang ada kesan bahwa bentuk itu disinonimkan dengan ruang. Lihat saja Glass House dari Philip Johnson atau Tugendhat House dari