Pendekatan perancangan arsitektur memiliki dimensi yang hampir tanpa batas. Setiap sekolah arsitektur memiliki keyakinannya masing-masing, dan lalu mengembangkannya agar memperoleh legitimasi dari berbagai pihak. Bagi arsitek, membuat ruang adalah tujuan nyata, namun merangkai bentuk tak kalah peliknya. Mulai dari mengolah dan memberdayakan bahan atau menarik garis merah dari sejarah yang melingkupinya sah-sah saja, dan hal itu akan selalu menjadi perbincangan tiada henti. Maka membahas pendekatan perancangan menjadi penting, namun dari mana memulai, dan bagaimana melakukannya adalah bagian yang relatif sulit namun amat berharga.
Apatah dikata, kita sering terjebak oleh metoda kerja yang telah dilakukan oleh para arsitek besar, yang menghasilkan karya megah, dengan argumentasinya yang tak terbantah. Dan kemudian ketika kita memraktekkannya ternyata kita hanya sekadar menjadi pengikutnya belaka. Di sekolahan, bila mahasiswa tak sepaham dengan dosen, seringkali menjadi masalah besar pula. Pertanyaannya adalah perlukah kita menjadi diri kita sendiri, tanpa harus berada di bawah bayang-bayang patron yang menginspirasi kita. Bagi Marx, sosiolog yang filsuf itu, dosa seseorang merupakan tanggung jawab lingkungannya juga. Makanya kita juga meyakini bahwa belajar dari seseorang yang telah berhasil, atau dari lingkungannya, merupakan keharusan karena berarsitektur adalah melanjutkan apa yang sudah ada pada saat ini. Tugas arsitek adalah memperkaya khasanah arsitektur yang sudah ada, dalam lingkup sekecil apapun.
YB Mangunwijaya adalah seorang arsitek yang bermartabat, sehingga patut menjadi teladan. Setidaknya bagi kita yang mempunyai kedekatan, baik dalam jarak maupun dalam pemikiran. Belajar dari karya-karyanya akan dapat meningkatkan kemampuan kita berolah gatra, bentuk dan rupa. Belajar dari cara berfikirnya, ketekunannya, dan keuletannya, akan semakin memandirikan kita dalam bertindak dan berkarya. Tetapi, bukankah akan lebih berharga bila kita meneruskan cita-citanya? Menjadi manusia pembelajar, menjadi pribadi yang tangguh, menjadi bangsa yang mandiri, dan menjadi arsitek yang orisinil?
Sejak sepeninggal Mangunwijaya seolah Jogja tidak memiliki dan melahirkan lagi tokoh yang seflamboyant dia. Belajar tentang karya arsitektur Mangunwijaya tak hendak melanggengkan bentukan yang telah dia buat. Tak juga membuat “aliran mangunwijaya” atau ‘mangunan style’. Merefleksikan sembari mencari kesesuaian karya-karya itu dengan kondisi saat ini, serta demi waktu mendatang. Mengritik dengan takaran yang berimbang karena Mangunwijaya juga insan biasa yang pendapatnya perlu didiskusikan ulang. Beruntung kita masih menemui karya arsitekturnya -- yang mungkin hanya akan bertahan beberapa puluh tahun lagi karena sebagian besar dibuat dari bahan kayu yang tak sekokoh pyramid Mesir-- maka masih ada kesempatan untuk belajar dari peninggalannya.
saya suka artikelnya... lanjutkan pak!!
BalasHapuskurang byk om picture nya..
BalasHapus