Langsung ke konten utama

SENJAKALA KOTAGEDE II

Pesona Kota Tua

Tersebutlah setelah kemenangan Ki Gede Pemanahan atas Arya Penangsang yang berseteru dengan Raja Pajang menjadi awal berdirinya Kerajaan Islam Mataram. Atas peran Ki Gede Pemanahan membantu Pajang, Raja Pajang menghadiahinya sebuah hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan lalu mendirikan Kerajaan Islam Mataram Kuno pada tahun 1575 dengan rakyatnya yang disebut Mentawisan.

Sentra Kerajinan Perak
Kotagede merupakan sentra kerajinan perak di Yogyakarta. Kotagede tidak cukup disebut sebagai Kota Perak, tetapi Kota Tua (The Old Capital City). Memasuki Kotagede dari arah Utara (melalui Gedong Kuning), jalan kecil diapit bangunan klasik berjejer di kedua ruas jalan, menjadi pembuka eksotis bagi wisatawan setelah melewati gapura.
Kerajinan perak dijual di bagian depan rumah penduduk sekaligus galeri (bangunan lama berbentuk limasan atau Joglo yang biasanya untuk menerima tamu) dengan jenis dan harga yang beraneka ragam. Kerajinan perak sendiri merupakan budaya turun temurun. Pada awalnya kerajinan di Kotagede berupa emas, perak dan tembaga. Namun seiring waktu, kerajinan peraklah yang paling diminati. Sehingga para pengrajin lebih banyak memilih untuk mengolah perak hingga sekarang.

Makam Pendiri Kerajaan Mataram Kuno
Pasar rakyat yang dikenal dengan sebutan Pasar Gede. Meski bangunannya hanya memakai arsitektur sederhana dan seadanya, pasar tradisional yang dibangun pada masa Panembahan Senopati telah menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi masyarakat Mentawisan. Hal ini yang membuat Kotagede dikenal dengan nama Pasar Gede atau Sargede dulunya. Karena pada hari pasaran Jawa, yaitu hari Legi, pasar menjadi tempat berkumpul para pedagang dari pasar-pasar di sekitar Kotagede maka sekarang lebih akrab dipanggil Pasar Legi.
Sekitar 50 meter selatan Pasar Gede di jalan Masjid Besar, sebuah gapura dengan benteng panjang melindungi salah satu situs kejayaan Mataram tempo dulu yang masih terawat dengan baik, sebuah Petilasan Kraton Kotagede. Di tengah kompleks terdapat Masjid pertama di Kotagede dikelilingi rumah para Abdi Dalem. Masjid tersebut dibangun oleh Sultan Agung bersama masyarakat setempat - yang waktu itu kebanyakan memeluk agama Hindu dan Budha - maka arsitekturnya pun banyak mengadopsi corak khas arsitektur Hindu dan Budha. Salah satunya adalah gapura masjid yang berukiran mirip vihara. Ukiran-ukiran kayu yang menghiasi hampir setiap sudut masjid juga bercorak gaya Hindu dan Budha. Hal ini menjadi keunikan tersendiri dari masjid ini.
Di dalam Masjid juga terdapat sebuah mimbar yang berukiran unik, upeti dari Adipati Palembang kepada Sultan Agung.
Sebelah selatan Masjid terdapat komplek makam para Pendahulu Kerajaan Mataram serta kerabat keluarga kerajaan yang juga merupakan tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan dulunya. Terdapat sebuah bangsal duda (saat ini berfungsi sebagai koperasi) ketika melewati gapura pertama sebelum memasuki gapura kedua. Melewati gapura kedua sebuah komplek menjadi pembatas sekaligus jalur penghubung menuju makam juga Sendang Seliran (tempat pemandian). Kata Seliran berasal dari kata ’selir’ yang berati istri kedua dan selanjutnya, bukan permaisuri. Di kompleks ini terdapat kantor, gudang, bangsal pengapit lor dan bangsal pengapit kidul. Di sebelah barat komplek terdapat sebuah gapura menuju komplek makam. Memasuki kompleks ini, wisatawan diwajibkan memakai pakaian adat Jawa dan melaksanakan tahlilan (doa) sebelum melewati 720 makam, menuju sebuah bangunan utama yang menjadi tempat bersemayam Keluarga Besar Kerajaan. Di sebelah selatan makam terdapat tempat pemandian yang terbagi menjadi Sendang Kakung untuk pria dan Sendang Putri untuk wanita.

Rumah Kalang
Rumah Kalang didirikan awal tahun 1900-an, dimana orang Kalang merupakan pendatang yang diundang oleh Raja untuk menjadi tukang ukir perhiasan kerajaan. Keunikan Rumah Kalang terletak pada perpaduan unsur Jawa dan Eropa, yaitu joglo yang dijadikan rumah induk terletak di bagian belakang dan di depan bangunan model Eropa.
Bangunan ini memiliki langgam yang didominasi bentukan arsitektur baroque, berikut corak corinthian dan doric. Sedang pada bangunan joglonya, khususnya pendopo sudah termodifikasi menjadi tertutup, tidak terbuka seperti pendopo joglo rumah Jawa pada umumnya. Relief-relief dengan warna-warna hijau kuning, menunjukkan bukan lagi warna-warna Jawa ala keraton Jogja lagi. Munculnya kaca-kaca warna warni yang menjadi mosaik penghubung antar pilar-pilar, menunjukkan joglo ini memang sudah menerima sentuhan lain.

Masjid Kotagede, Masjid Tertua di Yogyakarta
Masjid Kotagede merupakan bangunan masjid tertua di Yogyakarta. Masjid tersebut dibangun sekitar tahun 1640-an. Terdapat prasasti menyatakan bahwa Masjid Kotagede mengalami dua tahap pembangunan. Tahap pertama yang dibangun pada masa Sultan Agung hanya merupakan bangunan inti masjid yang berukuran kecil. Karena kecilnya, masjid itu dulunya disebut Langgar. Bangunan kedua dibangun oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X. Perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X ada pada tiangnya. Bagian yang dibangun Sultan agung tiangnya berbahan kayu sedangkan yang dibangun Paku Buwono tiangnya berbahan besi.
Sebelum memasuki kompleks masjid, akan ditemui sebuah pohon beringin yang konon usianya sudah ratusan tahun. Karena usianya yang tua, penduduk setempat menamainya "Wringin Sepuh" dan menganggapnya mendatangkan berkah. Di halaman masjid terdapat sebuah prasasti berwarna hijau setinggi tiga meter, yang merupakan pertanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi masjid ini. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu sholat.
Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi. Sebuah parit yang mengelilingi masjid akan dijumpai sebelum memasuki bangunan inti masjid. Parit itu di masa lalu digunakan sebagai saluran drainase setelah air digunakan wudlu di sebelah utara masjid.
Pada bagian luar inti masjid terdapat bedug tua yang bersebelahan dengan kentongan. Bedug merupakan hadiah dari seseorang bernama Nyai Pringgit yang berasal dari desa Dondong, wilayah di Kabupaten Kulon Progo. Atas jasanya memberikan bedug itu, keturunan Nyai Pringgit diberi hak untuk menempati wilayah sekitar masjid yang kemudian dinamai Dondongan. Bedug itu hingga kini masih dibunyikan sebagai penanda waktu sholat. Sebuah mimbar untuk berkhotbah yang terbuat dari bahan kayu yang diukir indah dapat dijumpai di bagian dalam masjid, sebelah tempat imam memimpin sholat. Mimbar itu pemberian Adipati Palembang. Kini mimbar sengaja jarang digunakan agar tidak rusak. Sebagai pengganti mimbar, warga menggunakan mimbar kecil untuk kepentingan ibadah sehari-hari.
Di sekeliling halaman masjid, dijumpai perbedaan pada tembok yang mengelilingi bangunan masjid. Tembok bagian kiri terdiri dari batu bata yang ukurannya lebih besar, warna yang lebih merah, serta terdapat batu seperti marmer yang di permukaannya ditulis aksara Jawa. Sementara tembok yang lain memiliki batu bata berwarna agak muda, ukuran lebih kecil, dan polos. Tembok yang ada di kiri masjid itulah yang dibangun pada masa Sultan agung, sementara tembok yang lain merupakan hasil renovasi Paku Buwono X. Tembok yang dibangun pada masa Sultan agung berperekat air aren yang dapat membatu sehingga lebih kuat.
Masjid yang usianya telah ratusan tahun itu hingga kini masih terlihat hidup. Warga setempat masih menggunakannya sebagai tempat melaksanakan kegiatan keagamaan. 

Kuliner
1)  Sate Karang
Karang adalah nama desa tempat tinggal Prapto (penemu resep Sate Karang) menjual satenya, tepatnya di Utara Lapangan Karang. Sate daging sapi rasa manis dengan dua keunikan. Keunikan pertama pada tiga pilihan sambalnya, sambal kacang, sambal kecap atau saus-kocor. Yang dimaksud saus kocor, sambal yang mirip sambal rujak yang manis, asam dan encer. Keunikan kedua dari sate ini, penjual akan menyediakan beras kencur sebagai minuman pendamping Sate Karang.

2)  Kipo
Kipo merupakan makanan khas Kotagede, terbuat dari tepung beras dan diisi dengan parutan kelapa yang dibumbui gula. Dibentuk seukuran jari dan dihidangkan dengan alas daun pisang.  Kipo sudah sangat jarang ditemui di pasar-2 tradisional di Jogja dan merupakan makanan endemik (khas) Kotagede. Saat ini praktis hanya dapat ditemui di pasar tradisional Kotagede.

3)  Yangko
Yangko adalah sejenis makanan ringan yang terbuat dari bahan tepung ketan, bentuknya persegi empat mungil, yang ditambah dengan baluran tepung terigu, Salah satu makanan khas Kotagede ini pada rasa aslinya, yangko berisi campuran cincangan kacang dan gula, namun kini semakin banyak rasa baru bermunculan untuk menyemarakkan cita rasa yangko. Selain rasa asli, kini bisa pula ditemui yangko dengan rasa buah-buahan, seperti strawberry, durian, dan melon.
Yangko memiliki kekhasan rasa. Kecuali rasa manis yang dominan, di dalam yangko kita juga bisa merasakan wangi aromanya. Bentuknya yang kecil menyebabkan kita tidak cepat ketika menyantapnya. Nuansa kenyil-kenyil ketika kita mengunyahkan mengundang sensasi kenikmatan bersantap.

Kotagede dalam Upaya Pelestarian
Dinamika dan dialog dari masa ke masa yang tak pernah berhenti itu terjadi di Kotagede ratusan tahun lamanya. Menarik memang mengikuti jejak-jejak upaya pelestarian yang mewujud di Kotagede. Tak hanya yang terjadi di masa kini, tetapi juga upaya-upaya pelestarian yang terjadi pada masa lalu. Lebih dalam, tak hanya pelestarian hal berwujud/fisik saja, tetapi juga hal non-fisik seperti pengetahuan dan berbagai keyakinan serta ideologi, yang berbeturan dalam ruang-ruang dialog masyarakat Jawa.
Banyak hal yang bisa dipetik utamanya dalam menyikapi perbedaan dan keragaman, baik yang muncul dalam masa yang sama maupun yang muncul seolah akan saling menggantikan dari masa yang berbeda.

Permasalahan Konservasi
Komplek masjid dan makam Kerajaan Mataram Islam Kotagede telah dikonservasi dengan mengganti tembok lama dengan tembok baru. Tembok bata kuno kokoh yang mengelilingi kompleks masjid dan makam kerajaan Mataram Islam di Kotagede. Tembok bata baru tersebut menggantikan dinding pagar yang sudah berusia lebih dari 400 tahun .
Penggantian tembok ini merupakan bagian dari proses rehabilitasi dan konservasi kompleks masjid kerajaan periode Mataram Islam itu. Proses konservasi tersebut difokuskan pada renovasi. Masyarakat setempat merasa tidak mendapatkan sosialisasi yang komprehensif sebelum muncul keputusan untuk merubuhkan dinding pagar sarat sejarah itu. Separuh lebih dari seluruh panjang pagar kuno itu telah dipugar.
Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) menjelaskan bahwa proses pemugaran merupakan salah satu upaya untuk melestarikan BCB itu sendiri. Prinsip teknis dan arkeologis harus dipegang teguh.
Hingga saat ini publik tidak mengetahui apakah tahapan ini telah sempurna dilakukan sebelum situs lokasi kompleks masjid dan makam kerajaan di situs kawasan Kotagede ini dipugar. Perencanaan teknis dan non-teknis, pelaksanaan pemugaran, penyelesaian (finishing), dan kegiatan pasca pemugaran yang meliputi evaluasi, pemeliharaan rutin, dan observasi stabilitas secara reguler adalah tahap-tahap berikutnya (Ahmadi, dkk, 1995; Nuryadi, 1996). Seluruh tahap pemugaran itu harus didokumentasikan dengan lengkap, meliputi dokumentasi foto, gambar, hingga sistem registrasi dan pencatatan. Pengamatan dan studi teknis arkeologis pun harus dilakukan selama proses sebagai mekanisme kontrol pengendalian prinsip pemugaran sebab dalam proses ini sangat rawan terjadi penyimpangan, terutama pada tahap pembongkaran, pemasangan, dan penggantian bahan baru. Bangunan kuno dari bahan bata memiliki sifat yang mudah sekali lapuk, sehingga penanganan pemugarannya harus dengan hati-hati dan ketelitian tinggi. Sebelum dibongkar, setiap bata di kedudukan aslinya harus didata dalam sistem registrasi tertentu dan diberi tanda serta nomor. Hal ini ditujukan untuk memberikan kelancaran pelaksanaan pekerjaan dan sebagai arsip untuk menentukan perlakuan terhadap setiap blok bata.
Situs bersejarah cikal bakal Dinasti Mataram Islam yang masuk dalam kategori kelas A yang mau tak mau harus selalu terjaga kelestarian dan keasliannya ini terpaksa turun peringkat menjadi situs kelas C yang masih bisa mengalami perubahan. 

Tujuan Konservasi, menurut Dinas Kebudayaan Provinsi DIY yang mengelola kegiatan ini, mendedikasikan konservasi ini untuk menciptakan living museum di Kotagede. Pembangunan ini dilakukan bersama dengan pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat pun terpacu melakukan kegiatan berbasis artefak budaya di situs lokasi kompleks masjid dan makam kerajaan Mataram Islam ini.

Catatan: Ditulis kembali dari berbagai sumber pada saat penyusunan RTBL Kawasan Kotagede, 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merefleksi Arsitektur YB Mangunwijaya

Pendekatan perancangan arsitektur memiliki dimensi yang hampir tanpa batas. Setiap sekolah arsitektur memiliki keyakinannya masing-masing, dan lalu mengembangkannya agar memperoleh legitimasi dari berbagai pihak. Bagi arsitek, membuat ruang adalah tujuan nyata, namun merangkai bentuk tak kalah peliknya. Mulai dari mengolah dan memberdayakan bahan atau menarik garis merah dari sejarah yang melingkupinya sah-sah saja, dan hal itu akan selalu menjadi perbincangan tiada henti. Maka membahas pendekatan perancangan menjadi penting, namun dari mana memulai, dan bagaimana melakukannya adalah bagian yang relatif sulit namun amat berharga. Apatah dikata, kita sering terjebak oleh metoda kerja yang telah dilakukan oleh para arsitek besar, yang menghasilkan karya megah, dengan argumentasinya yang tak terbantah. Dan kemudian ketika kita memraktekkannya ternyata kita hanya sekadar menjadi pengikutnya belaka. Di sekolahan, bila mahasiswa tak sepaham dengan dosen, seringkali menjadi masalah besar pul

Senja di Kotagede (1)

Kotagede terletak di selatan Kota Yogyakarta. Asal mula Kotagede dapat dijelaskan dari dua versi. Yang pertama, yakni versi sejarah yang telah dibuktikan dengan keberadaan artefak arkeologis seperti makam Panembahan Senapati di Makam Agung (Van Mook, 1972). Melacak peninggalan arkeologis yang ada, Inajati (2000) menunjukkan struktur Kotagede terdiri atas kraton, masjid, pasar dan alun-alun.  Komponen kawasan tersebut diistilah dengan Catur Gatra . Versi ini dilengkapi dengan adanya cerita rakyat. Selain itu di Kampung Dalem, terdapat sebuah cungkup, rumah-rumahan berisikan untuk watu gatheng (batu untuk mainan gatheng ), watu genthong (batu berceruk konon digunakan untuk menghamtam kepalanya Mangir), serta watu gilang (batu untuk singgasana). Ketiga batu tersebut diyakini memiliki kaitan dengan Panembahan Senopati. Wilayah Kotagede ditinggalkan oleh Sultan Agung dan penerusnya yang memilih untuk pindah ke Kerta, Pleret hingga Kartasura. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1775, wi

Ekspresi Kaca dan Citra Kota

Kaca sudah sedemikian rupa akrabnya dengan kegiatan kita sehari-hari. Selalu saja ada kaca di dalam setiap rumah baik sebagai elemen penghias ruang, perabot, hingga penutup ruangan seperti pintu dan jendela. Dan ketika kaca dihubungkan dengan masalah arsitektur, khususnya di tengah ruang-ruang terbuka kota, kaca mampu menafikan dan meredam kekakuan dan kepongahan sosok bangunan beton, seperti gedung bertingkat tinggi, yang kaku keras tak ramah. Kaca mampu mendobrak kebekuan suasana kota dengan membuka kontak visual antara ruang di dalam bangunan dengan halaman ruang luarnya. Dengan daya dan kekuatannya itu, ia menegaskan ironi dualismenya, yaitu dibalik kerentanan fisiknya sendiri kaca mengemuka ke kawasan pusat kota menjadi totem-totem baru yang tidak kalah ganasnya memengaruhi gaya hidup lingkungan urban. Mengatasi kuatnya pengaruh bangunan kotak sabun berbahan beton di era 60-an. Kekuatan kaca ada di balik kerentanannya yang tak tahan getar, benturan, dan pemuaian. Karena rentannya,