Langsung ke konten utama

ETIKA & ESTETIKA

Tulisan ini merupakan permenungan tentang bagaimana berarsitektur dengan bijak. Ada kewenangan dan kebebasan merancang yang melekat menjadi hak para arsitek, tetapi ada juga keterbatasan yang sebaiknya dituruti agar kita semakin peduli.
Empati terhadap alam dan lingkungan, menggeluti teknologi dengan baik, dan menghargai gagasan klien seraya mewujudkannya dalam rancangan yang menyenangkan.
Akan tetapi yang paling penting adalah   memberikan kepuasan kepada kita sendiri bahwa kita telah melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi sesama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merefleksi Arsitektur YB Mangunwijaya

Pendekatan perancangan arsitektur memiliki dimensi yang hampir tanpa batas. Setiap sekolah arsitektur memiliki keyakinannya masing-masing, dan lalu mengembangkannya agar memperoleh legitimasi dari berbagai pihak. Bagi arsitek, membuat ruang adalah tujuan nyata, namun merangkai bentuk tak kalah peliknya. Mulai dari mengolah dan memberdayakan bahan atau menarik garis merah dari sejarah yang melingkupinya sah-sah saja, dan hal itu akan selalu menjadi perbincangan tiada henti. Maka membahas pendekatan perancangan menjadi penting, namun dari mana memulai, dan bagaimana melakukannya adalah bagian yang relatif sulit namun amat berharga. Apatah dikata, kita sering terjebak oleh metoda kerja yang telah dilakukan oleh para arsitek besar, yang menghasilkan karya megah, dengan argumentasinya yang tak terbantah. Dan kemudian ketika kita memraktekkannya ternyata kita hanya sekadar menjadi pengikutnya belaka. Di sekolahan, bila mahasiswa tak sepaham dengan dosen, seringkali menjadi masalah besar pul

Senja di Kotagede (1)

Kotagede terletak di selatan Kota Yogyakarta. Asal mula Kotagede dapat dijelaskan dari dua versi. Yang pertama, yakni versi sejarah yang telah dibuktikan dengan keberadaan artefak arkeologis seperti makam Panembahan Senapati di Makam Agung (Van Mook, 1972). Melacak peninggalan arkeologis yang ada, Inajati (2000) menunjukkan struktur Kotagede terdiri atas kraton, masjid, pasar dan alun-alun.  Komponen kawasan tersebut diistilah dengan Catur Gatra . Versi ini dilengkapi dengan adanya cerita rakyat. Selain itu di Kampung Dalem, terdapat sebuah cungkup, rumah-rumahan berisikan untuk watu gatheng (batu untuk mainan gatheng ), watu genthong (batu berceruk konon digunakan untuk menghamtam kepalanya Mangir), serta watu gilang (batu untuk singgasana). Ketiga batu tersebut diyakini memiliki kaitan dengan Panembahan Senopati. Wilayah Kotagede ditinggalkan oleh Sultan Agung dan penerusnya yang memilih untuk pindah ke Kerta, Pleret hingga Kartasura. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1775, wi

Ekspresi Kaca dan Citra Kota

Kaca sudah sedemikian rupa akrabnya dengan kegiatan kita sehari-hari. Selalu saja ada kaca di dalam setiap rumah baik sebagai elemen penghias ruang, perabot, hingga penutup ruangan seperti pintu dan jendela. Dan ketika kaca dihubungkan dengan masalah arsitektur, khususnya di tengah ruang-ruang terbuka kota, kaca mampu menafikan dan meredam kekakuan dan kepongahan sosok bangunan beton, seperti gedung bertingkat tinggi, yang kaku keras tak ramah. Kaca mampu mendobrak kebekuan suasana kota dengan membuka kontak visual antara ruang di dalam bangunan dengan halaman ruang luarnya. Dengan daya dan kekuatannya itu, ia menegaskan ironi dualismenya, yaitu dibalik kerentanan fisiknya sendiri kaca mengemuka ke kawasan pusat kota menjadi totem-totem baru yang tidak kalah ganasnya memengaruhi gaya hidup lingkungan urban. Mengatasi kuatnya pengaruh bangunan kotak sabun berbahan beton di era 60-an. Kekuatan kaca ada di balik kerentanannya yang tak tahan getar, benturan, dan pemuaian. Karena rentannya,