Semburat
keindahan Arsitektur Sasak memancar tatkala adat dan kecerdasan penghuninya
terpahami dengan baik. Bentuk dan wujud arsitektur rumah tinggal mereka yang
sama serupa bukanlah tanda kekurangpiawaian para undagi-nya dalam menyampaikan pesan dan makna akan kekayaan
Arsitektur Sasak. Di Bumi Lombok masa lalu, konsep keserupaan dan pengulangan
bentuk adalah sebuah keniscayaan yang menggambarkan kohesivitas warganya
khususnya dalam [1] cara memandang reliji, [2] cara mereka menghadapi alam dan
[3] antisipasi perubahan dan modernitas yang sangat gencar terjadi di
disepanjang sejarahnya.
#
Sejarah mencatat betapa beragam lapis budaya yang datang kemudian turut serta membentuk Lombok yang lebih baru. Tak kurang suku Bugis, Jawa dan Bali memberi kontribusi yang mendorong modernitas dan budaya Sasak. Selebihnya adalah pergumulan dalam mengintegrasikan agama pendatang dengan agama setempat. Perkembangan Hindu Bali, Islam yang datang setelah Budha berkelindan dengan agama nenek moyang terasa hingga kini. Maka sebuah jalan tengah hadir menjadikan Islam Wetu Telu menjadi sendi kehidupan dunia dan akherat mereka. Kepiawaian mengelola berbagai konflik yang menyejarah dan kelapangan dada mereka dalam menerima kebaruan berbuah manis berkat dikemas dalam simbiosis mutualisme. Dalam konteks itu Arsitektur Sasak membentuk dirinya menjadi tiada tara.
Alamnya menyimpan
mineral sumber penghidupan berlebih, menyuburkan Lombok khususnya di seputaran
G Rinjani, tetapi juga pembawa nestapa berkepanjangan. Letusan Rinjani abad
ke-13 memaksa penduduk Sembalun Lawang pergi mengungsi. Pasca gempa, desa
mereka bangun lagi dengan hanya mendirikan tujuh unit rumah, satu tempat ibadah
dan dua lumbung. Rumah-rumah ini serupa bentuk dan ukuran, bahan bangunannya,
tataan letaknya dideretkan berjajar dua dan hadirlah halaman. Semua rumah
berbanjar menghadap Utara kecuali Bale Malang menghadap Timur searah kiblat.
Lumbung berada di ujung kompleks desa
beleq (perkampungan tua, desa cikal
bakal) Sembalun Lawang.
#
Ketujuh rumah itu kini kosong, karena itu adalah rumah leluhur yang tujuh tersebut. Sementara warganya kini tinggal di luar pagar batas. Dilain tempat di kawasan Pantai Utara, Desa Bayan sering disebut kerajaan suwung atau kerajaan sepi, karena kampung yang konon bekas kerajaan, lebih banyak ditinggalkan penghuninya. Kesamaan ini menunjukkan kebiasaan di Lombok desa yang seringkali kosong itu bukanlah hal baru. Warga tetap merawat dan menjaganya. Rasa memiliki itulah membawa mereka pada sebuah kesadaran, yang oleh arsitek sekarang disebut sebagai ’pelestarian arsitektur’.
Filosofi Sasak
tentang Gumi [bumi] Bayan yang juga
disebut Gumi Nina atau Bumi Perempuan bermakna ‘kasih sayang’;
harmonisasi antara [1] manusia dengan alam, [2] lingkungan sosial dan [3] sang
pencipta. Filosofi ini pula mendasari tradisi Sasak, yaitu tradisi
berarsitektur yang penghuninya sangat bergantung pada alam karena mereka kaum
agraris dan pelaut.
Rumah tinggalnya,
unit bangunan tunggal di dalamnya hanya terbagi, secara fisik, menjadi dua
ruangan saja; [1] ruang utama untuk berbagai kegiatan dan [2] kamar tidur anak
gadis yang beranjak dewasa. Pada ruang utama dibagi lagi untuk berbagai tempat
penyimpanan barang dan perabotan rumah tangga [bale]. Pembentukan ruang utama terjadi oleh penataan jenis dan
nilai benda yang disimpan di tempat itu, bukan karena jenis fungsi kegiatannya.
Satu ruang, open plan, dimaknai berdasarkan pada ungkapan yang
berbeda tergantung pada isinya. Maka karakter ruang utama tersebut tetap
sebagai satu kesatuan ruang, tidak berbeda-beda karena pengaruh fungsi karena
batasannya maya.
Arsitektur Sasak
dalam wacana Arsitektur Nusantara:
1.
Filosofinya
adalah harmonisasi antara manusia dengan alam, lingkungan sosial dan sang
pencipta.
2.
Pembentukan
ruang akibat penataan jenis perabotan dan nilai barangnya, bukan karena
’fungsi’ kegiatannya. Inilah salah satu pembeda yang sangat ekstrim yang ada di
Lombok.
3.
Kesamaan
dan keserupaan adalah keniscayaan, bukanlah tanda kekurangpiawaian para undagi dalam merepresentasi pesan dan
makna arsitektur.
4.
Rasa
memiliki menjadi sebuah kesadaran untuk melakukan apa yang sekarang disebut
dengan ’pelestarian arsitektur’ dengan motif dasarnya pengakuan kepemilikan.
Penutup
Tulisan ringkas ini
menggarisbawahi bahwa arsitektur terbentuk akibat banyaknya pengaruh faktor
eksternal yang bersifat nir fisik. Faktor utamanya adalah homogenitas
masyarakatnya serta sistem kepemilikan komunal lebih dominan daripada pribadi.
Sementara itu,
pada aras lain, arsitektur kiwari selalu menjadi pemicu perubahan kebiasaan masyarakatnya
seperti adat budaya hingga perkembangan teknologi konstruksi.
Arsitektur
Nusantara dimaksudkan untuk memberi keleluasan berkreasi dengan kebaruan
karya-karya yang didukung oleh potensi alam, budaya dan manusianya
Komentar
Posting Komentar