Langsung ke konten utama

Memotret Yogyakarta




Orang bilang Yogyakarta atau Jogjakarta (baca: Jogja) merupakan kota tempat orang merindukan kenangan masa lalunya. Bukannya Jogja tak berubah, dan ia juga bukan gadis manis yang tak bertambah usia. Tapi begitulah Jogja, yang bagi setiap orang yang pernah tinggal disana selalu berharap datang lagi (baca: pulang) untuk menengok jaman dulu ketika ada disana. Tampaknya kepentingan mudik ke Jogja sekadar untuk mengatakan “… wah dulu tidak seperti ini kok…”, dan lalu puaslah sudah. Dan peziarahanpun boleh dihentikan.
Jogja tak seperti dulu lagi. Sebagai barometer nasional di bidang budaya, seni dan bahkan politik, jelas Jogja selalu dibuat baru, di up date, warga kotanya, dan itu tentunya menjadikan kota berubah. Senyatanya para pecinta bangunan kuno selalu resah karena bangunan di kota ini yang tergolong heritage semakin berkurang saja. Tak mudah menghambat datangnya bangunan baru yang kehadirannya melalui cara-cara menghilangkan bangunan lama. Besok mana lagi yang akan dibongkar? Sebuah pertanyaan yang provokatif, menakutkan untuk disuarakan; Itu adalah sebagian perubahan Jogja.
Maka upaya melestarikan arsitektur (bangunan kuno) Kota Jogja, menemukan dunianya dalam memerhatikan sebuah tempat yang berubah namun dirasakan sebagian orang sebagai tempat yang layak untuk bernostalgi, seolah tetap tanpa perubahan. Arsitektur dapat bercerita banyak hal tentang hal itu. Ia  dapat memberi kesaksian yang mendekati kenyataan (bukankah hidup berumur panjang menjadi sangat menyenangkan karena dapat berkesaksian?). Bagaimana kehidupan kota menjadikan arsitekturnya sehingga serupa ini. Arsitektur tidak mengingkari waktu, baik dulu maupun keadaan sekarang. Seperti yang kita sering dengar dari gerutuan “… bagaimana mungkin bisa jadi begini, padahal dulu tempat ini sangat bersejarah…”
Arsitektur masih saja dibutuhkan untuk mengenali sebuah kota, kawasan, lingkungan sekitar dan persil bagi bangunan yang akan dirancang.
Memotret arsitektur kota baik sebagai metoda, alat dan sekaligus idea dalam upaya melestarikan arsitektur (bangunan kuno) Kota Jogja, seolah kita menemukan dunia tersendiri. Foto menjadikan sebuah wacana untuk memerhatikan sebuah tempat yang berubah, tetapi tetap dirasakan oleh sebagian orang sebagai tempat yang layak untuk bernostalgi. Berubah seolah tetap tanpa perubahan. Foto arsitektur dapat bercerita banyak hal tentang hal itu. Ia  dapat memberi kesaksian yang mendekati kenyataan (bukankah hidup berumur panjang menjadi sangat menyenangkan karena dapat berkesaksian?), bagaimana kehidupan menjadi serupa ini. Foto juga menjadi alat untuk berusaha mengingkari keadaan sekarang, seperti yang kita sering dengar dari gerutuan
“… bagaimana mungkin bisa jadi begini, padahal dulu tempat ini sangat bersejarah…” 





Memotret arsitektur kota menjadi bagian penting dalam menceritakan arsitektur dan bahkan untuk berarsitektur. Foto adalah kesaksian; dalam arsitektur, yang dibutuhkan untuk mengenali kota, kawasan, lingkungan sekitar dan persil bagi bangunan yang akan dirancang.
Kini semua orang, dengan kamera digitalnya, seolah serta merta menjadi fotografer. Begitu pula arsitek, merekam gambar sebanyak mungkin lalu disortir di studio pada saat kemudian. Arsitektur, terutama bangunan, menjadi obyek dan sasaran tembak kamera para amatir, yang pada akhirnya lebih banyak menonjolkan keindahan gambarnya daripada menyajikan informasi rancang bangun itu sendiri. Fotografi Arsitektur membawa diri arsitek untuk saling berbagi rasa indah dengan masyarakat, dengan tetap menyajikan seni foto yang memikat tak jauh beda dengan para professional, yang mengarahkan kameranya untuk memberikan pencerahan.















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merefleksi Arsitektur YB Mangunwijaya

Pendekatan perancangan arsitektur memiliki dimensi yang hampir tanpa batas. Setiap sekolah arsitektur memiliki keyakinannya masing-masing, dan lalu mengembangkannya agar memperoleh legitimasi dari berbagai pihak. Bagi arsitek, membuat ruang adalah tujuan nyata, namun merangkai bentuk tak kalah peliknya. Mulai dari mengolah dan memberdayakan bahan atau menarik garis merah dari sejarah yang melingkupinya sah-sah saja, dan hal itu akan selalu menjadi perbincangan tiada henti. Maka membahas pendekatan perancangan menjadi penting, namun dari mana memulai, dan bagaimana melakukannya adalah bagian yang relatif sulit namun amat berharga. Apatah dikata, kita sering terjebak oleh metoda kerja yang telah dilakukan oleh para arsitek besar, yang menghasilkan karya megah, dengan argumentasinya yang tak terbantah. Dan kemudian ketika kita memraktekkannya ternyata kita hanya sekadar menjadi pengikutnya belaka. Di sekolahan, bila mahasiswa tak sepaham dengan dosen, seringkali menjadi masalah besar pul...

Senja di Kotagede (1)

Kotagede terletak di selatan Kota Yogyakarta. Asal mula Kotagede dapat dijelaskan dari dua versi. Yang pertama, yakni versi sejarah yang telah dibuktikan dengan keberadaan artefak arkeologis seperti makam Panembahan Senapati di Makam Agung (Van Mook, 1972). Melacak peninggalan arkeologis yang ada, Inajati (2000) menunjukkan struktur Kotagede terdiri atas kraton, masjid, pasar dan alun-alun.  Komponen kawasan tersebut diistilah dengan Catur Gatra . Versi ini dilengkapi dengan adanya cerita rakyat. Selain itu di Kampung Dalem, terdapat sebuah cungkup, rumah-rumahan berisikan untuk watu gatheng (batu untuk mainan gatheng ), watu genthong (batu berceruk konon digunakan untuk menghamtam kepalanya Mangir), serta watu gilang (batu untuk singgasana). Ketiga batu tersebut diyakini memiliki kaitan dengan Panembahan Senopati. Wilayah Kotagede ditinggalkan oleh Sultan Agung dan penerusnya yang memilih untuk pindah ke Kerta, Pleret hingga Kartasura. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1775...

TAMPILAN ARSITEKTUR

Catatan: Tampilan Arsitektur , adalah buah pikir Prof. Josef Priyotomo. Tulisan ini saya peroleh dari rekan Dr. M Muqoffa, UNS Surakarta. Saya merasa senang dengan tulisan ini sehingga merasa untuk berbagi dengan para sahabat sekalian. Selamat menikmati .     oleh: josef priyotomo Tampilan: apa dan siapa dia? Tergantung pada sisi tinjau manakah penjawab pertanyaan itu, di situ pulalah kebenaran dan kesalahan, persetujuan dan penolakan atas jawabannya diletakkan. Bagi pihak yang masih menempatkan ruang sebagai panglima dalam arsitektur, misalnya, maka tampilan bukanlah sebuah ihwal yang perlu perhatian yang setara dan sepadan dengan perhatian terhadap ruang arsitektur. Mereka yang mengikuti dogma ‘form follows function’ mengatakan bahwa bentuk muncul sebagai akibat dari pananganan atas ruang dan fungsi. Dalam lingkungan penganut pandangan itu, bahkan tidak jarang ada kesan bahwa bentuk itu disinonimkan dengan ruang. Lihat saja Glass House dari Philip Johnson atau Tugendhat Ho...