Perjalanan sejarah membawa Jogja menjadi ajang perpaduan berbagai budaya arsitektur. Arsitektur Jawa yang istimewa karena konstruksi kayunya, arsitektur China yang memperkaya arsitektur Jogja dengan konstruksi dan gaya bangunan bermaterial batu bata yang tebal dan masiv. Serta arsitektur Eropa, landa, yang kokoh-kaku, tinggi besar, serta elegan dengan gaya priyayi moderen.
Memaknai arsitektur Jogja dalam pengertian kata kerja, verba, menunjukkan sebuah perjalanan panjang orang Jogja dalam melangsungkan proses kebudayaannya. Sebuah perubahan secara terus-menerus pada hal-hal yang amat lahiriah hingga yang bersifat ruhiah dilaluinya dengan toleransi yang tinggi. Budaya orang Jogja sangat menentukan pengertian arsitekturnya yang berkembang dari bentukan lama dan usang, tertransformasikan menjadi yang lebih baru, bahkan secara tak terprediksikan sebelumnya. Arsitekturpun berkembang sesuai masyarakatnya.
Memandang arsitektur di Jogja bisa jadi dari bentuk kebendaannya, nomina, yaitu mengenali arsitektur secara wadag, berdasarkan acuan langgam, style, bentuk geometrisnya. Arsitektur sebagai sebuah perkakas budaya fisik untuk memenuhi fungsi-fungsi kegiatan orang Jogja selama ini. Arsitektur kota menjadi pemenuhan tuntutan warganya sekaligus menggambarkan pencapaian teknologi konstruksi membangun dan estetika visual. Disini budaya masa terakomodasikan secara layak, sesuai selera warga kotanya yang semakin maju dan terbuka.
Sejarah menunjukkan bahwa arsitektur Eropa, atau lebih tepatnya menggunakan istilah Arsitektur Indis daripada Arsitektur Kolonial, terlanjur menjadi ikon bagi kota budaya ini. Maka terjadilah tautan antara bentuk dan makna pada arsitektur kota, yang salah satunya memiliki ciri arsitektur Indis, dimata dan hati masyarakat telah menjadi milik bersama. Arsitektur kota Jogja adalah bercampuraduknya arsitektur Jawa, China dan Indis, seperti yang terderetkan di sepanjang Jl. Mangkubumi – Jl. Malioboro – Jl. A Yani – hingga kraton.
Perkembangan menarik terjadi pada dekade 80-an, saat dimulainya renovasi Benteng Vredeburg, wacana arsitektur kolonial ramai diperbincangkan mengenai perlunya merawat, atau menghilangkan langgam arsitektur Indis tersebut. Akan tetapi kearifan para seniman, sejarawan – dan tentu saja pemerintah waktu itu – yang mendorong serta sangat menekankan betapa pentingnya melestarikan artifak arsitektur masa lalu, termasuk arsitektur Indis buatan para penjajah itu.
Sebagaimana diketahui arsitektur Indis berkembang pesat semenjak Politik Etis dideklarasikan penguasa negeri Belanda tahun 1901. Politik balas budi Belanda terhadap rakyat Hindia Belanda agar selain rakyat hidupnya menjadi lebih layak, dalam batasan kesejahteraan pribumi, juga agar tetap setia mengabdi pada Belanda. Orang pribumi yang menjadi pegawai Belanda seolah mendapat rejeki terutama meningkatnya posisi status sosial mereka. Hingga datang Jepang mengakhiri semua itu, termasuk budaya Indis (Djoko Suryo, 1998).
Sejalan dengan pergantian generasi, yang otomatis juga mengubah selera dan mode, arsitektur Indis merebak secara pasti menggantikan bangunan lama. Bangunan komersial yang letaknya di pinggir jalan strategis pembentuk wajah kota, nampak gagah, garang dan mendayu-dayu berornamentasikan floral lembut menawan. Warna putih atau warna lain yang cerah, dan kini selalu dikombinasi dengan kaca lebar, menjadi sebuah tampilan baru dari gaya Eropa yang selalu nampak pejal.
Seolah Arsitektur Kalang di Kotagede yang menandai kehadiran saudagar Jawa kaya, menitis kembali dalam alam moderen ke tengah kota Jogja. Arsitektur Kalang waktu itu adalah gaya arsitektur yang sangat eklektik, menyampuradukkan Arsitektur Jawa dengan elemen Deco, Art Nouveau dan Eropean Style lainnya, yang tidak meninggalkan nuansa Jogja masa lalu. Muncullah tetenger yang menandai sebuah identitas baru. Identitas untuk mengobyektifikasi yang lain, liyan, (the Other).
Boleh diterima boleh tidak, gagasan baru para pemilik bangunan, dan arsiteknya, itu sama seperti halnya keragaman Indonesia itu sendiri. Pernak-pernik idea bebas, walaupun dengan style lama, bersinergi menyusun sebuah subyek baru, mengendap-endap di setiap petak langkah wacana pemikiran, dan akhirnya membentuk ke-yanglain-an (the Otherness) menjadi satu subyek utuh dengan identitas kebangsaan yang kental.
Kota dengan karya arsitekturnya seringkali dapat dibaca dengan baik, dan menjadi lebih dekat dengan kenyataan yang terjadi, bila dilakukan melalui penafsiran yang tenang tanpa tergesa-gesa. Memahami sebuah karya secara intertekstual lebih penting dibandingkan dengan presentasi verbal dari para arsiteknya atau pemilik bangunan (baca kota) sendiri. Kini arsitektur Indis yang muncul kembali jelas bukan menyoal masalah penjajahan fisik seperti pada masa lalu, akan tetapi lebih kepada pertanyaan tentang seberapa dekat para arsitek kita dengan budaya Jogja.
Akhirnya bukankah lebih bijak memandang perubahan kota Jogja melalui kacamata yang lensanya lebih lebar agar dalam memahami kota ini tidak hanya dengan mengenang peninggalan masa lalu secara normatif dan dalam cetak biru yang tematik. Sekarang gemuruh komunikasi dan hirukpikuknya pergerakan bertransportasi, membawa estetika berarsitektur perlu melakukan kesepakatan-kesepakatan baru, seperti menelusuri relasi baru antara kepadatan yang semakin tinggi, kondisi sosial masyarakat yang terpuruk berkepanjangan, ekonomi yang semakin kapitalistik, serta teknologi rancang bangun komputerisasi yang heboh. Seolah kreativitas para arsitek menjadi tertinggal di belakang terlalu jauh.
Arsitektur berlanggam Indis lahir lagi dengan pesona baru. Awalnya beberapa ciri yang selalu berulang adalah bentuknya yang besar, kokoh, serta pejal, dengan ornamen yang menyebabkan kesan horisontalnya sangat kuat. Kini bentuk itu dihadirkan kembali dengan bidang dinding yang lebih transparan menggunakan kaca lebar, kesan horisontal kini tak nampak lagi dan sebaliknya menjadi sangat vertikal. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah lantai dan sempitnya lahan sehingga bangunan semakin meninggi. Maka menjadilah ia elemen kota bagian dari Jogja masa kini.
Langgam Neo Garden City for Tomorrow, rumah berhalaman luas bertaman asri di bagian depan rumah berberanda luas diapresiasi kembali dan disesuaikan untuk kebutuhan sekarang. Pintu gerbang dan pagar tinggi memberikan kebaruan bagi langgam tersebut, yang dulunya tidak pernah ada, bahkan untuk kantor pemerintahan sekalipun. Faktor keamanan, baik untuk menangkal kerusuhan yang disebabkan oleh konflik sosial maupun tindak kriminal lainnya. Akan tetapi gapura serupa ini pula yang dulu telah kita kenal pada ndalem pangeran yang menggunakan bentuk arsitektur Semar Tinandu, dan sejenisnya. Secara tipologis bentuk dan pesan gapura ini sudah ada semenjak dulu, namun penampilannya kini lebih diwarnai dengan ornamen-ornamen rumit dan mahal.
Atap berbentuk segi delapan bukan karena ruangan di bawahnya berdenah segi delapan pula. Hubungan antara atap dan ruang yang dinaungi hanya sebatas masalah estetika visual. Hal ini dimungkinkan karena teknologi b eton bertulang sudah semakin mudah dilaksanakan dan justru lebih murah daripada bangunan berbahan kayu. Demikian pula di ujung atap tersebut yang seakan berlubang hingga bawah, void, sebagaimana bangunan Indis yang berusaha memasukkan udara luar ke ruang-ruang di dalam bangunan sebanyak mungkin. Kini masalah pengudaraan dan penghawaan bangunan tidak lagi menjadi permasalahan genting, dan sesungguhnya puncak atap tersebut ragam hias yang memberi daya hidup terhadap keseluruhan bangunan.
Hingar bingar tampilan arsitektur kraton Jawa bertabur ragam hias ukir-ukiran yang pernah marak pada Abad Pencerahan, atau bahkan cikal bakal Art Nouveau di awal abad ke-19 yang amat digemari dimasa lalu, kini terlahir kembali sebagai bangunan komersial, pusat jajan khas Jogja. Mengusung ornamen ukir legenda semasa kejayaan Romawi, serasa kembali pada masa lalu ketika kraton Surakarta mengalami masa kejayaannya dan sedemikian eratnya dengan kebudayaan Eropa, atau bahkan kraton Jogjakarta yang dibangun dengan langgam selera arsitektur Portugis. Adapun bangunan baru ini tertutup oleh ornamen dan corak ragam hias ala Eropa namun tak dapat dipungkiri ini adalh sebuah karya baru dengan cirnya yang eklektik, yang tentu daja memiliki maksud-maksud yang spesifik bukan untuk kembali pada berabad masa lalu.
Siapakah tokoh kedua sejoli ini? Romeo dan Yuliet, ataukah Pronocitro dan Roro Mendut. Mungkin epik Arjuna dan Sembadra dari Mahabarata, atau bahkan anda sendiri saat masih muda. Wujud dan ekspresi kedua orang ini tentu saja dapat diasosiasikan kepada siapa saja yang sedang bercinta. Ada unsur keperkasaan pada tokoh lelaki, dan kelembutan serta kecantikan pada tokoh perempuannya, tak peduli siapa dia.
Arsitektur berlanggam Indis lahir lagi dengan pesona baru. Awalnya beberapa ciri yang selalu berulang adalah bentuknya yang besar, kokoh, serta pejal, dengan ornamen yang menyebabkan kesan horisontalnya sangat kuat. Kini bentuk itu dihadirkan kembali dengan bidang dinding yang lebih transparan menggunakan kaca lebar, kesan horisontal kini tak nampak lagi dan sebaliknya menjadi sangat vertikal. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah lantai dan sempitnya lahan sehingga bangunan semakin meninggi. Maka menjadilah ia elemen kota bagian dari Jogja masa kini.
Langgam Neo Garden City for Tomorrow, rumah berhalaman luas bertaman asri di bagian depan rumah berberanda luas diapresiasi kembali dan disesuaikan untuk kebutuhan sekarang. Pintu gerbang dan pagar tinggi memberikan kebaruan bagi langgam tersebut, yang dulunya tidak pernah ada, bahkan untuk kantor pemerintahan sekalipun. Faktor keamanan, baik untuk menangkal kerusuhan yang disebabkan oleh konflik sosial maupun tindak kriminal lainnya. Akan tetapi gapura serupa ini pula yang dulu telah kita kenal pada ndalem pangeran yang menggunakan bentuk arsitektur Semar Tinandu, dan sejenisnya. Secara tipologis bentuk dan pesan gapura ini sudah ada semenjak dulu, namun penampilannya kini lebih diwarnai dengan ornamen-ornamen rumit dan mahal.
Atap berbentuk segi delapan bukan karena ruangan di bawahnya berdenah segi delapan pula. Hubungan antara atap dan ruang yang dinaungi hanya sebatas masalah estetika visual. Hal ini dimungkinkan karena teknologi b eton bertulang sudah semakin mudah dilaksanakan dan justru lebih murah daripada bangunan berbahan kayu. Demikian pula di ujung atap tersebut yang seakan berlubang hingga bawah, void, sebagaimana bangunan Indis yang berusaha memasukkan udara luar ke ruang-ruang di dalam bangunan sebanyak mungkin. Kini masalah pengudaraan dan penghawaan bangunan tidak lagi menjadi permasalahan genting, dan sesungguhnya puncak atap tersebut ragam hias yang memberi daya hidup terhadap keseluruhan bangunan.
Hingar bingar tampilan arsitektur kraton Jawa bertabur ragam hias ukir-ukiran yang pernah marak pada Abad Pencerahan, atau bahkan cikal bakal Art Nouveau di awal abad ke-19 yang amat digemari dimasa lalu, kini terlahir kembali sebagai bangunan komersial, pusat jajan khas Jogja. Mengusung ornamen ukir legenda semasa kejayaan Romawi, serasa kembali pada masa lalu ketika kraton Surakarta mengalami masa kejayaannya dan sedemikian eratnya dengan kebudayaan Eropa, atau bahkan kraton Jogjakarta yang dibangun dengan langgam selera arsitektur Portugis. Adapun bangunan baru ini tertutup oleh ornamen dan corak ragam hias ala Eropa namun tak dapat dipungkiri ini adalh sebuah karya baru dengan cirnya yang eklektik, yang tentu daja memiliki maksud-maksud yang spesifik bukan untuk kembali pada berabad masa lalu.
Rumah toko, ruko, merupakan bangunan komersial yang sangat mempertimbangkan besaran investasi. Perhitungan untung rugi selalu mendasari segala tindakannya, termasuk dalam hal menentukan ongkos dan biaya pembangunan. Secara fungsional bangunan kotak tanpa ornamen, minimalis, akan sangat cocok dengan kaidah tersebut. Namun demikian citra dapat saja menentukan segalanya, mengalahkan pertimbangan lain seperti investasi awal. Arsitektur komersial ini memanfaatkan ikon-iokon lama untuk menaikkan nilai barang yang ditawarkan kepada target sasarannya. Bentukan lama dapat saja membawa angan-angan kita kepada memori tentang kota-kota kuno di Eropa, Amerika dan negara maju makmur lainnya.
Ornamen yang rumit dan canggih dulunya membutuhkan ketrampilan tinggi para seniman kriya untuk mengaplikasikan ke dalam sebuah karya arsitektur. Kini semuanya digantikan dengan teknologi pengolahan bahan bangunan yang memudahkan pengerjaan di lapangan. Tukang hanya diperlukan untuk memperhalus sambungan-sambungan pada elemen dinding dan sejenisnya seperti kolom dan lantai. Maka para tukang itu pun tetap berbayar murah.
Komentar
Posting Komentar