Mengangkat peran dan kesan sebuah budaya fisik dalam hal ini arsitektur, tak terlepas dari berbagai upaya seperti menggabung dan mensenyawakan satu entitas dengan entitas lain yang berada di luar dirinya sendiri. Penyilangan kultur diperlukan untuk menambah keragaman bentuk dan ornamensi, serta fungsi baru yang selama ini tidak terwadahi dalam arsitektur kita. Selain itu silang budaya akan membuka peluang untuk perbaruan-perbaruan citraannya.
Jogja sebagai miniatur Indonesia dengan sangat baik menggambarkan suasana itu, mulai dari masakan yang dijajakan, dialek bicara orang luar Jogja yang baru tinggal beberapa tahun saja, dan tentulah arsitekturnya. Berbagai etnik saling bertemu dan tukar menukar renik-renik budaya masing-masing. Dari Tugu pal putih sampai kraton cukuplah untuk menceritakan hal-hal itu.
Arsitektur Pura mangkunagaran di Surakarta dan Arsitektur Kalang di Kotagede Yogyakarta menjadi sampel baik bagi sinkretisasi dengan modernitas yang beraromakan Eropa. Arsitektur masa lalu, vernakular, jelas menyimpan berjuta memori dari masyarakatnya. Sedangkan arsitektur kiwari, moderen, membuka peluang bagi keberlanjutan yang akan memperpanjang usia hidup arsitektur masa lalu.
Di kedua kawasan pusat budaya tersebut sinkretisasi bentuk arsitektur sangat eklektik. Cara-cara pencampuradukan Arsitektur Jawa dengan elemen lain seperti Art Nouveau dan Eropean Style lainnya melahirkan arsitektur Indis yang ’tidak jawa’ sekaligus ’belum Eropa’. Arsitektur Jawa dan Eropa yang dipersandingkan tidak menyebabkan pamornya menghilang, akan tetapi justru menimbulkan bahasa arsitektur baru yang memesona. Arsitektur Jawa sendiri akan membentuk pemaknaan baru bila disandingkan dengan arsitektur moderen/kontemporer. Bukan hanya itu, kebaruan komposisi itu juga akan melibatkan pemilik dan penggunanya dalam proses pembentukan makna baru tersebut.
Maka penggabungan antara yang lama dan yang baru memunculkan pengertian, dan kompromi, baru yang tidak tunggal, tapi juga tanpa mengurangi kandungan nilai keduanya. Dengan demikian tak perlu dirisaukan, dan bahkan dalam menautkan keduanya akan memunculkan sekularisasi yang menyenangkan. Berikut ini adalah peninggalan sinkretisasi yang hingga kini masih dapat dikunjungi dan dinikmati.
Baja sebagai bahan bangunan baru di Eropa abad ke-19 sangat mengharu biru dunia rancang bangun, arsitektur, kala itu. Sangatlah besar pengaruhnya konstruksi ini bagi perkembangan arsitektur di Hindia Belanda, khususnya di Pura Mangkunagaran. Saka emper-nya, penyangga teritis sebelah luar pendapanya, dibuat dari baja dan gordingnya menggunakan rel kereta api. Kini merupakan satu-satunya pendapa ageng, besar, yang menggunakan konstruksi campuran kayu dengan baja. Perbedaan itu justru dapat menceritakan perkembangan arsitektur Pura yang sangat modernis itu.
Masih di lingkungan Pura Mangkunagaran, di Bangsal Pracimoyoso, sebuah bangsal yang dipergunakan untuk para tamu yang menginap, sudah menggunakan konstruksi ’space frame’. Konstruksi ini membagi beban atap merata secara tiga dimensional ke seluruh tiang yang menyangganya. Sementara sistem kuda-kuda rangka, seperti yang selalu kita gunakan untuk membangun rumah-rumah, mendistribusikan beban dari atap secara dua dimensional, yang berbentuk bidang vertikal datar. Teknologi konstruksi baru ini tak lupa dihias dengan tema puspa dan satwa yang menjadi lambang Pura Mangkunagaran.
Rangka bangunan di Benteng Markas Kavallerie-Artillerie Belanda, yang terletak di sisi kiri Pura Mangkunagaran. Sebagaimana keberadaan Benteng Vredeburg di Jogja yang berfungsi menjadi penyeimbang kekuatan fisik dan politik kraton, bahkan menjadi markas Belanda untuk mengawasi gerak gerik Sultan, bangunan ini memiliki keunikan tersendiri. Bentuk kayu yang dilengkungkan setengah lingkaran ini berfungsi sebagai tiang penyokong kolom agar bangunan tidak goyang. Menggunakan bahan kayu berlapis tidak saja sekadar menjadi penyangga bangunan tetapi juga sebuah frasa arsitektur asing yang memperkaya perbendaharaan ragam arsitektur setempat.
Komentar
Posting Komentar