Seolah sudah menjadi kodratnya, arsitektur merupakan salah satu seni yang mudah dijadikan alat politik, dikooptasi penguasa, untuk melanggengkan kemauannya sendiri. Nilai dari ’guna’ pada sebuah karya seni arsitektur bilamana diharapkan untuk memuliakan manusia, bonum, verum, dan pulchrum, yang berarti kebaikan, kebenaran dan keindahan, sebagaimana resep Thomas Aquinas untuk memakmurkan ladang kehidupan ini, dengan mudahnya dimaknai menjadi ’alat tukar’ semata, ya politis maupun kekuasaan.
Repotnya kasus-kasus belakangan ini justru yang mengemuka, hingga tercium masyarakat luas, adalah munculnya aroma komisi uang. Bahkan jauh lebih parah lagi karena makna dari sebuah karya arsitektur, apakah itu hanya ruangan kecil, bangunan, hingga kawasan kota sebagai tempat kegiatan bersosialisasi lainnya, direduksi hingga tumpat pedat. Yang muncul kemudian adalah rancangan sebongkah bangunan nyinyir yang menandai ketidakacuhan terhadap realitas masyarakatnya, sebagaimana ditunjukkan oleh rencana pembangunan gedung baru DPR RI yang telah gagal itu. Kalau sudah begitu debat kusir tentang apakan desain arsitekturnya menjiplak atau sekadar sebuah mimesis bentuk arsitektural, yang masih tetap tergolong halal diaplikasikan, menjadi tidak penting lagi.
Kegunaan atau lebih tepatnya fungsi fisikal dari sebuah ’obyek’ arsitektur selalu mengait pada masalah ’subyek’ penggunanya. Relasi keduanya sangat jelas karena si obyek dibuat berdasarkan kebutuhan dan keinginan-keinginan sang subyek. Lalu selang beberapa saat kemudian sang subyek mau tak mau akan terlumuri oleh kesan dan pesan estetik dari aura si obyek tadi. Maka mudah ditebak, seperti pendapat orang-orang tradisional dulu, bahwa arsitektur yang ditinggali menggambarkan seperti apa perangai pemiliknya yang tinggal di dalamnya.
Mengikuti arus pikiran C Teguh Budiarto (2001) yang mengupas tendensi Adorno dalam berkesenian, mengungkapkan bahwa dalam kenyataannya proses kemajuan dan pembebasan yang rasionalistik itu tetap menuntut negativitas anasirnya. Dalam dunia arsitektur rancangan yang terlalu mendominasi wacana jamannya, apakah itu dominasi terhadap alam lingkungannya, ataukah realitas sosial masyarakatnya, yang tertinggal, sengsara dan segala bentuk kepedihan sosial lainnya, justru akan menjadikan penghuni dan penggunanya menjadi obyek semata yang ditindas, sementara arsitekturnya yang berbalik menjadi subyek. Segala hal yang ingin serba menguasai dunia di luar dirinya, dengan segala rasionalitasnya, selalu akan mengobyekkan manusia.
Untuk membalikkan letak kesalahan subyek dan obyek itu, dikarenakan seluruh proses pembalikan itu berlangsung dalam politik dan kehendak yang berkuasa, maka mewacanakannya kembali harus dari persoalan politik ruang yang terkait dengan kondisi karut-marutnya masyarakat yang terlibat, bukan dari kebutuhan atau bahkan keinginan calon penghuninya. Nanti akan nampak lebih jelas bahwa masalahnya bukan hanya karena harganya yang mahal saja, atau penjiplakan desainnya yang akan menurunkan harkat martabat bangsa, tetapi kepada hal yang sangat awal apakah arsitektur itu masih beraura atau telah terjerembab kesudut yang nista, post auratik. Arsitektur yang telah kehilangan auranya.
Bukan sebuah pembelaan untuk mengatakan bahwa rancangan gedung baru DPR RI memiliki pesonanya sendiri. Silakan perhatikan tampilan tampak bangunan desain yang lama itu, lalu kita kaitkan dengan gambaran umum penghuninya, yang selalu rapi siap berhadapan dengan kamera televisi. Bentuk kotak sederhana, dengan lubang kotak-kotak teratur tetap dalam ritmenya serta santun, tidak bergelora berlagak gaya orasi partai oposisi. Diam walau tanpa senyum, tapi toh tidak angker. Bentuk U terbalik, menurut para pengamat arsitektur, menjadikannya sosok gedung itu langsing, pipih tidak bulki. Ini penting dari sisi tampilan agar tetap nampak muda dan modis, bak calon penghuninya. Demikian pula dari tinjauan functional frame-nya desain itu juga tetap mengesankan ramah lingkungan, lubang besar di tengah celah bangunan itu menggambarkan agar sirkulasi udara dari luar mudah menerobos masuk ke dalam bangunan, walau kita juga tahu bahwa semua ruang tetap ber-air conditioning. Tapi setidaknya kesan itu terwujud dalam wajah geometris arsitekturalnya. Tak heran bila pesona itu meredam kritik arsitektur khususnya terhadap desain bangunan yang menjadi kurang greget. Hal seperti itu nampak ketika masyarakat melalui para presenter televisi mempertanyakan apakah bangunan ini duplikasi dari gedung parlemen Chili? Jawabanpun bisa menjadi panjang tapi tidak semakin memperjelas apa yang dimaksudkan.
Arsitektur bangunan pemerintahan selayaknya mampu menjadi bagian simbol negara atau rakyatnya, dan memberi kebanggaan. Aristoteles berujar, sebagaimana seni lainnya, arsitektur merupakan ’tiruan’ alam dalam konotasi positif serta bersifat universal, dengan sifat katharsis-nya yaitu pemurnian. Berlapis-lapis pengalaman estetis diungkapkan oleh arsiteknya yang nantikan akan ditangkap oleh awam sebagai gumpalan kejadian yang –seolah- pernah dikenalnya, kemudian membuncah dan pecah mencair lalu menggetarkan, yang tak jarang terjadi secara mengharukan.
Unsur estetis dan keindahan, demikian Adorno, tampak dalam kehendak arsitek yang ingin ditularkan kepada orang lain sebagai transformasi ’mimesis’. Maka jadilah arsitektur sebuah entitas yang mengait dengan peristiwa-peristiwa yang mengitarinya, yaitu kepeduliannya terhadap nasib orang lain, terutama mereka yang terdesak oleh pihak yang kuat. Mampu menunjukkan jalan kesadaran untuk mengubah struktur agar terjadi perbaikan keadaan, saling menghormati hak asasi sesama. Arsitektur, setelah terwujud melalui transformasi mimesisnya, maka pada akhirnya dikemudian hari arsitektur akan memberikan kemanfaatannya melalui sisi transformatifnya, menyadarkan masyarakat akan realitas yang dialaminya.
Revisi desain memangkas ketinggian bangunan tersebut hingga berkurang sepuluh lantaipun belum tentu akan menyembuhkan luka hati masyarakat. Syukurlah bila lalu batal dibangun.
:: :: ::
Arsitektur yang lahir dan berkembang bersama masyarakatnya
Arsitektur yang mudah menyesuaikan dengan tuntutan jaman, karena telah menjadi kebutuhan batin masyarakatnya. Berubahnya fungsi bangunan maupun berkembangnya gaya hidup masyarakat penggunanya selalu dapat saling menyesuaikan. Kini pendapa tersebut mendapatkan makna barunya, bukan hanya untuk berkegiatan semata tetapi menjadi elemen estetik yang menyimpan kenangan masa lalu.
Komentar
Posting Komentar