Langsung ke konten utama

Ekspresi Kaca dan Citra Kota

Kaca sudah sedemikian rupa akrabnya dengan kegiatan kita sehari-hari. Selalu saja ada kaca di dalam setiap rumah baik sebagai elemen penghias ruang, perabot, hingga penutup ruangan seperti pintu dan jendela. Dan ketika kaca dihubungkan dengan masalah arsitektur, khususnya di tengah ruang-ruang terbuka kota, kaca mampu menafikan dan meredam kekakuan dan kepongahan sosok bangunan beton, seperti gedung bertingkat tinggi, yang kaku keras tak ramah.
Kaca mampu mendobrak kebekuan suasana kota dengan membuka kontak visual antara ruang di dalam bangunan dengan halaman ruang luarnya. Dengan daya dan kekuatannya itu, ia menegaskan ironi dualismenya, yaitu dibalik kerentanan fisiknya sendiri kaca mengemuka ke kawasan pusat kota menjadi totem-totem baru yang tidak kalah ganasnya memengaruhi gaya hidup lingkungan urban. Mengatasi kuatnya pengaruh bangunan kotak sabun berbahan beton di era 60-an.
Kekuatan kaca ada di balik kerentanannya yang tak tahan getar, benturan, dan pemuaian. Karena rentannya, kaca menjadi murah harganya, mudah pengerjaannya sedikit perawatannya, sehingga cepat menyebar ke pelosok desa, bahkan hanya dengan ditenteng tangan. Kemudian, sesaat setelah terpasang, ia menjadi instalasi ruang yang handal, sinar luar masuk ruang, angin dingin tertahan, air memercik kembali pulang, serangga tak mampu menerobosnya.
Di kota dan di desa sama saja, kaca menjadi elemen bangunan yang memiliki daya tarik visual tinggi, pembentuk datum sebuah facade bangunan yang penuh pesona estetika arsitektural. Semakin luas permukaan dinding berkaca, tak pelak akan semakin menjadikan puas pemiliknya, disamping decak kagum tetangganya. Tetapi orangpun mempertanyakan bangunan yang penuh kaca, gerangan bagaimana menjaga keamanan pemilik yang tinggal di dalamnya.

Kaca dalam Ruang Publik
Hubungan kaca dengan bangunan tidak terbatas hanya seperti material elementer yang terkait dengan kerangkanya, tetapi menjadi permasalahan yang bilamana diringkas dalam suatu definisi tampaknya amat prosaik sehingga agak sukar diterjemahkan untuk memahaminya sebagai, curiga manjing warangka. Keris bersemayam (ke)dalam sarungnya. Warangka=keris, curiga=sarung pembungkusnya. Sebuah konsep tentang menyatunya mikro kosmos dan makro kosmos ini terdapat dalam Serat Dewaruci. Adegan ini menceritakan ketika Bima yang tubuhnya besar akhirnya dapat masuk kedalam raga Dewaruci yang badannya lebih kecil daripada Bima.
’Yang terhubung dan tak terpisahkan’ walau sebenarnya dua hal tersebut bisa saja tak berhubungan sama sekali. Kadang bangunan arsitektur tak memerlukan kaca, tetapi masalahnya adalah saat kaca direlasikan dengan arsitektur, ia seolah mampu merubah segala-galanya; Kaca menjadi bukan saja sebuah elemen fungsional pragmatis, atau elemen ornamental, tetapi berkembang menjadi kesatuan fungsi dan makna yang saling berkelindan, yang di dalamnya juga akan melibatkan masalah ekonomi dan sosial penggunanya, terutama teknologi.
Purwadi, 2006, menjelaskan bahwa dalam filosofi Kejawen, prinsip unity atau kesatuan yang ajur-ajer, adalah sebuah rangkaian kejadian yang tergambarkan dalam hubungan sub-sistem satu dengan sub-sistem lain dalam sebuah sistem. Membentuk hubungan yang istimewa, sebagai model untuk seluruh lingkup dunia wacana, bukan subyek dan obyek, akan terjadi hubungan ideal bila berakhir dengan anti-dominasi. Sebab, pada suatu saat ketika kaca berwujud peran sebagai curiga, dan bangunan atau arsitektur sebagai warangka, itupun sebuah pengertian yang hanya berlaku pada jamannya saja, seolah membentuk kesan bahwa  warangka-lah yang dihiasi pernik-pernik curiga-nya. Karena kini, ketika seluruh aspek saling menguat dan meluruhkan satu dengan yang lain, dan selera jaman berubah, bisa jadi lebih tepat diungkapkan dalam pengertian warangka manjing curiga. Sang curiga mencuri peran dari warangkanya sehingga warangka tersebut diwakili atau bahkan musnah sama sekali, dalam segala hal baik fungsi maupun simboliknya, dikarenakan oleh sang curiga. Si aku yang menjadi pemilik atau si aku yang dimiliki. Akhirnya terpulang kepada ego yang membuat pengertian tentang arti dan manfaat kaca bagi bangunan.
Dalam kerangka-kerangka konkret, kaca maupun bangunan bukanlah sesuatu yang dapat diletakkan pada puncak tertinggi sebuah kepentingan. Diantara kedua elemen tersebut, diluar kepentingan fungsional dan fisikal, masih ada faktor lain yang selalu dicari dan dicari tanpa henti yaitu kehendak untuk menggapai citra tertentu. Citra arsitektur menjadi dunia yang berdimensi ’spiritual’ tanpa wujud dan hanya bisa dirasakan melalui pemahaman tertentu. Akan tetapi citra tidak menutupi kesempatan secuilpun mengenai kemungkinan adanya perubahan dan perbedaan fisikal penandanya. Bahkan simbolpun dapat berganti dan berkembang, selama pemaknaannya tetap dalam satu pengertian bersama tidaklah mampu menghapus sebuah pencitraan.  

Mengikuti Perkembangan Jaman

Gagasanlah yang pada akhirnya dapat mengubah jaman, dan ini pula yang terjadi pada kaca bagi sebuah bangunan. Tak selamanya kaca sekadar menjadi elemen dalam kaitannya dengan masalah utilitas bangunan dan hospitality, kenyamanan penggunanya. Karena perubahan selera dan perjalanan waktu akan membuat orang mengalami kejenuhan yang tak tersembuhkan, maka kacapun meninggalkan fungsi pragmatiknya menyembul menjadi elemen pemberi ruh simbol bagi kemegahan dan kecerlangan karya arsitektur.
Das Umgreifende, cakrawala ruang dan waktu, demikian Karl Jasper (Sumaryono, 1993; 33) menjelaskan bahwa setiap obyek tampil dalam ruang dan waktu yang sama. Pada kenyataannya tidak ada obyek yang berada dalam keadaan terisolasi, setiap obyek berada dalam ruang, dan setiap obyek terkungkung oleh berjalannya waktu. Arsitektur selalu ada kerangkanya yaitu referensi, dimensi, batasan dan keterbatasannya, nyata dan semu, yang semuanya akan memberikan warna dan ciri khusus pada obyek.
Sebaliknya kaca yang semula merupakan elemen lepas dari bangunan, dan yang tidak selamanya mengikuti perkembangan seni arsitektur. Pada era tertentu justru kaca yang memelopori terbentuknya sebuah langgam atau style arsitektur baru. Kaca membentuk mahzabnya sendiri. Penggunaan kaca  dan logam yang mendominasi sekujur bangunan menandai rancangan tersebut bernuansa hi-tech. Hamparan dinding yang rata, transparan dan bertekstur halus, nada warna tunggal yang dirangkai dengan bilah alumunium seolah barang yang rentan-ringkih tetapi menyeruak ke luar di area publik menjadi sebuah ironi.
Sebagai elemen fungsional kaca dapat diperikan secara pasti melalui pengujian laboratorium, terutama terhadap sifat-sifat bawaannya. Pengaruh kaca terhadap suhu ruang dan lingkungan, efek pantulan kaca terhadap tingkat kesilauannya, serta hal-hal yang menjadi kelebihan maupun kekurangan kaca. Demikian pula dalam analisis ekonomi-teknologi-lingkungan kaca telah dapat disempurnakan hingga memiliki kemampuan yang diluar batas prediksi seabad sebelumnya. Semisal penggunaan kaca berbentang (amat) lebar. Kemampuannya dalam menahan beban besar memberikan kemungkinan untuk membuat lantai dari kaca, sedangkan ketahannya terhadap benturan mampu mengantisipasi peluru sekalipun. Hingga kemandirian kaca yang bisa berdiri tanpa harus menggunakan bingkai pendukung lagi. Beberapa produk baru menunjukkan bahwa tinjauan dari sisi manajemen pelaksanaan pembangunannya menunjukkan bahwa bahan ini sangat menguntungkan karena beban sendiri kaca sangat ringan, cepat pemasangannya, dan tersedia dalam berbagai ukuran sesuai selera penggunanya. Kondisi ini menambah independensinya semakin besar, bahkan sangat besar, dalam memenuhi keinginan jaman karena menjadi sangat efisien.

Dari Sakral Berubah hingga Profan

Kekhasan kaca selain pada keragaman tampilannya, kelenturan pemasangan dan mengkombinasikannya. Keunikan lainnya adalah ketebalannya yang menggambarkan kekuatan dan kerentanannya, hingga terjangkau secara ekonomis, dan tak heran hingga saat kini kaca menjadi sangat merakyat. Sangatlah luar biasa karena tak banyak elemen bangunan lain yang memiliki daya tarik dan daya rengkuh sebesar kaca. Perubahan kaca yang memiliki simbol-simbol relijius, ornamen penting ritual, menjadi elemen yang bersifat elementer dan fungsional-pragmatik sudah terjadi sejak lama, walau tak pernah diperdebatkan dan dipertentangkan. Kaca menjadi sebuah keniscayaan kehidupan urban. Beberapa momen penting kaca dalam berbagai jaman;
Pada masa kejayaan arsitektur Gothic, kaca merupakan pemancar cahaya ke dalam ruang yang merepresentasikan kehadiran Tuhan. Ornamen bunga mawar yang sangat dikenal pada masa Gothic itu memancarkan sinar dari luar bangunan dengan cara yang sangat mencekam hingga terasakan sampai menggetarkan hati para jamaah yang sedang berdoa. Tak terbantahkan kedudukan kaca di kala itu menjadi sesuatu yang sakral, atau setidaknya menyakralkan lingkungannya.
Di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, di Bangsal Ondrowino, sebuah bangsal untuk berramah tamah, menggelar jamuan makan malam, dindingnya terbuat dari kaca lebar-lebar, dan dengan demikian juga tebal. Tak banyak cerita mengenai itu tetapi kaca yang didatangkan dari kerajaan Belgia, Eropa, tersebut merupakan kaca angkatan pertama yang dikenalkan kepada pribumi tanah Jawa. Kala itu kaca menandai kedudukan dan kehormatan seorang Sunan. Namun sorang pelawak gaya Mataraman, Basiyo almarhum, menggambarkan betapa elok bangunan berkaca itu, membikin orang-orang yang di dalamnya, yang berpakaian warna warni itu, seperti kembang gulo nang njero toples, seperti gula-gula dalam stoples. 
Di kapel Ronchamp yang dirancang arsitek masyhur Le Corbusier, dinding-dindingnya dipertebal kemudian dilubangi sehingga sinar yang masuk membaur buyar ke dalam ruang. Sebuah gambaran ’terang yang mencerahkan’ terbentuk tanpa kaca. Bagi penganut mahzab Modern Architecture yang saleh, sebagaimana yang dilakukan guru besarnya Le Corbusier tersebut, simbolisasi kaca menjadi sebuah remeh-temeh yang tidak penting bahkan tak layak dipajang. Namun tonggak berkibarnya Modern Architecture itu justru ditengarai dengan Crystal Palace yang megah di Inggris.
Di masyarakat Kalang, Kotagede Yogyakarta, kaca ditempelkan sebagaimana orang menikmati kreasi di jaman Art Nouveau, yang membuat ornamensi dari puspa dan satwa sulur-sulur yang lembut. Pada rumah Kalang kaca warna-warni di jendela dan bovenlich melambangkan penghuninya yang kaya dan yang pada saat itu sudah menjadi moderen sekian dasa warsa ke depan. Gaya dan cara memadukan kaca pada bangunan-bangunan di Kotagede sangat eklektik yang tujuannya tentu saja berujung pada masalah estetik-ornamental.
Kaca menjadi elemen yang dianggap dapat memberi nafas moderen, memberi vitalitas atau daya hidup pada bangunan rancangannya. Elemen penting untuk menandai bangunan dengan makna tertentu, bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan fungsi utilitas dan kenyamanan. Ia menjadi bagian penting dari sebuah konsep berarsitektur.

***
Dalam pandangan kosmologi kejawen yang sejak dulu hingga sekarang sangat diakrabi masyarakatnya, kaca dan arsitektur dapat diibaratkan sebagaimana korelasi antara curiga dengan warangka-nya dalam konteks imajinatif curiga manjing warangka. Dimana keduanya saling memberikan pemahaman tentang prinsip ajur-ajer pada sebuah desain arsitekturnya yang memancarkan citra modernisnya.
Kaca dan arsitektur merupakan perpaduan dan solusi yang dinamis memenuhi tuntutan penghuninya. Kaca merupakan kekuatan yang dapat menandai makna sebuah bangunan, hingga dapat mengubah citra lingkungan hunian di perkotaan maupun pedesaan secara amat radikal dominatifnya. Prinsip ini memberi kemungkinan yang amat lebar bagi pemahaman tentang dunia rancangbangun gedung dan kawasan kota yang dinamis, seperti kasus-kasus yang dicontohkan di atas.

Bangsal Pracimoyoso, Mangkunagaran Surakarta. Pendapa yang semula terbuka kini perlu ditutup kaca agar kegiatannya dapat semakin terlindung dan nyaman.


Kaca dalam rangka almunium pada Bandara Hasanuddin membentuk kesan dan pengertian baru bagi arsitektur, yakni sebuah langgam arsitektur hi-tech.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merefleksi Arsitektur YB Mangunwijaya

Pendekatan perancangan arsitektur memiliki dimensi yang hampir tanpa batas. Setiap sekolah arsitektur memiliki keyakinannya masing-masing, dan lalu mengembangkannya agar memperoleh legitimasi dari berbagai pihak. Bagi arsitek, membuat ruang adalah tujuan nyata, namun merangkai bentuk tak kalah peliknya. Mulai dari mengolah dan memberdayakan bahan atau menarik garis merah dari sejarah yang melingkupinya sah-sah saja, dan hal itu akan selalu menjadi perbincangan tiada henti. Maka membahas pendekatan perancangan menjadi penting, namun dari mana memulai, dan bagaimana melakukannya adalah bagian yang relatif sulit namun amat berharga. Apatah dikata, kita sering terjebak oleh metoda kerja yang telah dilakukan oleh para arsitek besar, yang menghasilkan karya megah, dengan argumentasinya yang tak terbantah. Dan kemudian ketika kita memraktekkannya ternyata kita hanya sekadar menjadi pengikutnya belaka. Di sekolahan, bila mahasiswa tak sepaham dengan dosen, seringkali menjadi masalah besar pul

Senja di Kotagede (1)

Kotagede terletak di selatan Kota Yogyakarta. Asal mula Kotagede dapat dijelaskan dari dua versi. Yang pertama, yakni versi sejarah yang telah dibuktikan dengan keberadaan artefak arkeologis seperti makam Panembahan Senapati di Makam Agung (Van Mook, 1972). Melacak peninggalan arkeologis yang ada, Inajati (2000) menunjukkan struktur Kotagede terdiri atas kraton, masjid, pasar dan alun-alun.  Komponen kawasan tersebut diistilah dengan Catur Gatra . Versi ini dilengkapi dengan adanya cerita rakyat. Selain itu di Kampung Dalem, terdapat sebuah cungkup, rumah-rumahan berisikan untuk watu gatheng (batu untuk mainan gatheng ), watu genthong (batu berceruk konon digunakan untuk menghamtam kepalanya Mangir), serta watu gilang (batu untuk singgasana). Ketiga batu tersebut diyakini memiliki kaitan dengan Panembahan Senopati. Wilayah Kotagede ditinggalkan oleh Sultan Agung dan penerusnya yang memilih untuk pindah ke Kerta, Pleret hingga Kartasura. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1775, wi

TAMPILAN ARSITEKTUR

Catatan: Tampilan Arsitektur , adalah buah pikir Prof. Josef Priyotomo. Tulisan ini saya peroleh dari rekan Dr. M Muqoffa, UNS Surakarta. Saya merasa senang dengan tulisan ini sehingga merasa untuk berbagi dengan para sahabat sekalian. Selamat menikmati .     oleh: josef priyotomo Tampilan: apa dan siapa dia? Tergantung pada sisi tinjau manakah penjawab pertanyaan itu, di situ pulalah kebenaran dan kesalahan, persetujuan dan penolakan atas jawabannya diletakkan. Bagi pihak yang masih menempatkan ruang sebagai panglima dalam arsitektur, misalnya, maka tampilan bukanlah sebuah ihwal yang perlu perhatian yang setara dan sepadan dengan perhatian terhadap ruang arsitektur. Mereka yang mengikuti dogma ‘form follows function’ mengatakan bahwa bentuk muncul sebagai akibat dari pananganan atas ruang dan fungsi. Dalam lingkungan penganut pandangan itu, bahkan tidak jarang ada kesan bahwa bentuk itu disinonimkan dengan ruang. Lihat saja Glass House dari Philip Johnson atau Tugendhat House dari